TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte minta maaf kepada Indonesia atas kekerasan selama Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Kekerasan sistematis dan berlebihan selama masa kolonialisme terungkap dalam sebuah penelitian sejarah yang didanai pemerintah Belanda pada tahun 2017 dan dilakukan oleh akademisi dan pakar dari kedua negara.
Tinjauan sejarah ini dipresentasikan pada Kamis (17/2/2022) di Amsterdam.
Dilansir DW, penyelidikan dari tiga lembaga penelitian sejarah bertentangan dengan pandangan lama pemerintah Den Haag bahwa pasukan Belanda hanya melakukan kekerasan sporadis ketika berusaha mendapatkan kembali kendali atas koloni itu setelah Perang Dunia II.
Baca juga: Belanda akan Cabut Pembatasan Covid-19 Secara Bertahap, Tak Wajib Jaga Jarak hingga Soal Masker
Baca juga: Siapa Pengibar Bendera Upacara Proklamasi Kemerdekaan? Ini Tokoh Penting Pengibar Bendera Indonesia
Studi selama lebih dari empat tahun ini menunjukkan kekejaman hukum Hindia Belanda di Indonesia.
Ditemukan bahwa angkatan bersenjata Belanda melakukan kekerasan ekstrem yang meluas serta disengaja.
"Itu terjadi di setiap tingkatan: politik, militer, dan hukum."
"Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari mereka yang memikul tanggung jawab di pihak Belanda - politisi, pejabat, pegawai negeri, hakim dan lain-lain - memiliki atau dapat memiliki pengetahuan tentang penggunaan sistematis kekerasan ekstrem," kata para peneliti.
"Ada kemauan kolektif untuk membenarkan dan menyembunyikannya, dan membiarkannya tanpa hukuman. Semua ini terjadi dengan tujuan yang lebih tinggi: memenangkan perang," kata mereka.
Kekejaman sistematis itu, kata penelitian, berupa eksekusi di luar hukum, penyiksaan, penahanan dalam kondisi tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan perusakan properti dan persediaan makanan, serangan udara tidak proporsional, penembakan altileri, hingga penangkapan dan penahanan massal.
Menurut para peneliti, jumlah korban dari kejahatan ini tidak bisa dipastikan.
Kekejaman selama perang Kemerdekaan RI ini pertama kali diungkap oleh seorang mantan veteran Belanda pada 1969.
Namun pemerintah Belanda mengklaim bahwa pihaknya hanya melakukan serangan terisolasi dan bersikeras bahwa militer tidak melakukan kekerasan.
Permintaan Maaf Mark Rutte
Dengan munculnya tinjauan sejarah ini, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia, Kamis (17/2/2022).
Tidak hanya soal kekejaman yang terjadi, tapi juga atas kegagalan pemerintah Hindia Belanda selama masa penjajahan di Indonesia.
"Atas kekerasan ekstrem yang sistematis dan meluas dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu dan sikap konsisten yang dilakukan pemerintah sebelumnya, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia," kata Rutte.
Menurutnya, Belanda harus mengakui temuan tersebut.
"Itu keras, tetapi tidak dapat dihindari," ujarnya.
Ia mengaku pemerintah bertanggung jawab penuh atas 'kegagalan kolektif'.
Dilaporkan Straits Times, diyakini sekitar 100.000 orang Indonesia tewas sebagai akibat langsung dari perang, dan meskipun persepsi konflik telah berubah di Belanda, pemerintah Belanda tidak pernah sepenuhnya memeriksa atau mengakui ruang lingkup tanggung jawabnya.
Di tahun 1969, pemerintah Belanda menyimpulkan pasukannya secara keseluruhan telah berperilaku benar selama konflik, tetapi mengakui pada tahun 2005 bahwa mereka "berada di sisi sejarah yang salah".
Baca juga: Varian Baru HIV yang “Sangat Mematikan” Ditemukan di Belanda
Baca juga: Aktor asal Belanda Ini Ungkap Alasan Ingin Menjadi WNI
Permintaan maaf tentang perang tersebut bukanlah yang pertama dari Belanda ke Indonesia tetapi merupakan pengakuan pertama bahwa kekerasan sistematis yang disengaja telah terjadi.
Dalam kunjungannya ke Indonesia pada Maret 2020, Raja Willem-Alexander membuat permintaan maaf yang mengejutkan atas "kekerasan berlebihan" yang dilakukan pasukan Belanda.
Pada 2016, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders meminta maaf atas pembantaian pasukan Belanda terhadap 400 penduduk desa Indonesia pada tahun 1947.
Meskipun studi ini berfokus pada tindakan Belanda, ada catatan bahwa pasukan Indonesia juga menggunakan kekerasan untuk melakukan perlawanan.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)