TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah analis meyakini bahwa China tidak akan membiarkan negaranya terseret dalam konflik Rusia-Ukraina dengan membantu Moskow.
Sebelumnya, Menlu AS Antony Blinken mengaku khawatir Beijing akan membantu Moskow dengan pasokan peralatan militer.
Menyusul hal ini, Presiden AS Joe Biden melakukan panggilan telepon dengan Presiden China Xi Jinping untuk membahas soal konflik.
Dalam pembicaraan itu, Biden disebut memperingatkan Xi bahwa China akan menerima konsekuensi jika mendukung agresi Rusia.
Namun, analis China dan AS menilai Beijing tidak mungkin akan membantu Moskow, mengingat hal itu akan menjerumuskannya sendiri.
Baca juga: China akan Menghadapi Dua Ancaman Ini Jika Berani Membantu Rusia
Baca juga: Zelensky Peringatkan Dampak Jika Invasi Rusia Tak Kunjung Sepakati Damai
Negara di Asia Timur ini tengah memprioritaskan pembangunan ekonominya di atas kepentingan lain.
"Di panggung dunia, China tampaknya menjadi satu-satunya teman yang tersisa dari Rusia. Tetapi, akan menjadi kesalahan untuk melebih-lebihkan kekuatan persahabatan Tiongkok-Rusia yang tampak seperti itu," kata Allen Carlson, profesor di departemen pemerintahan Universitas Cornell.
"Presiden Xi Jinping sangat tidak mungkin membiarkan China terseret ke dalam konflik dengan memberikan dukungan militer langsung ke Rusia," ujarnya, dilansir SCMP.
Carlson menilai, Beijing bisa menjadi mediator antara Moskow dan Kyiv, meskipun kecil kemungkinannya.
“Masalah yang paling penting dalam konflik bagi Beijing bukanlah mengakhiri perang atau memperkuat persahabatan tetapi melindungi kepentingan China sendiri. Sejauh ini, tampaknya Xi belum sampai pada kesimpulan tentang apa itu," kata Carlson.
Presiden Rusia Vladimir Putin sempat mengunjungi Beijing untuk Olimpiade Musim Dingin bulan lalu.
Putin dan Xi saat itu menyepakati persahabatan 'tanpa batas' melalui pernyataan bersama yang juga mengatakan hubungan bilateral "lebih unggul daripada aliansi politik dan militer Perang Dingin".
Sejumlah pejabat AS baru-baru ini melaporkan bahwa Rusia meminta bantuan ekonomi dan militer dari China.
Diketahui, China berusaha netral dengan tidak mengutuk militer Rusia atau menyebutnya sebagai invasi.
Beijing menyatakan pihaknya mengakui kedaulatan Ukraina, tetapi juga khawatir dengan keamanan Moskow terkait ekspansi NATO ke arah timur.
Long Jing, wakil direktur Shanghai Institutes for International Studies’ Centre for European Studies, mengatakan China memiliki cara berbeda untuk 'terlibat'.
"Perbedaan terbesar adalah China tidak condong ke negara tertentu, atau hanya mendengarkan seruan satu negara. Sebaliknya, Beijing terus-menerus memanggil semua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan. Saya kira ini juga merupakan cara bagi China untuk berperan," jelasnya.
Bertemu dengan penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan di Roma pada Senin, diplomat tinggi China Yang Jiechi menyebut pihaknya netral dalam perang Ukraina.
Sebelumnya, sikap abstain China dalam pemungutan suara PBB untuk menuntut diakhirinya agresi militer Rusia, membuat Barat memandang Beijing sebagai sekutu Moskow.
Namun, China akan menghadapi risiko besar jika membantu negara pimpinan Putin ini.
Baca juga: Sejumlah Bantuan Militer Dikirim Sekutu ke Ukraina, Drone hingga Sistem Rudal Pertahanan Udara
Baca juga: Pangkalan Militer Ukraina Diserang Rusia, Tentara yang Selamat Sebut dari 200 Orang 90% Tak Selamat
Menurut laporan CNN, para ahli percaya posisi Beijing semakin tidak dapat dipertahankan karena dua alasan ini:
1. Ancaman Ekonomi
Jika China memberikan dukungan kepada Rusia, itu bisa melanggar sanksi Barat.
Perusahaan China yang terlibat, terancam hukuman sekunder yang akan mengancam mereka di pasar global.
2. Ancaman Diplomatik
Sikap Beijing dapat menenggelamkan hubungan antara China dan mitra dagang utamanya di Barat.
Perdagangan antara Uni Eropa dan China mencapai $800 miliar tahun lalu dan perdagangan AS-China lebih dari $750 miliar, menurut data resmi China, sementara perdagangannya dengan Rusia hanya di bawah $150 miliar.
Bahkan sebelum perang, hubungan AS-China memburuk karena masalah-masalah seperti perdagangan, Taiwan, dan catatan hak asasi manusia Beijing.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)