TRIBUNNEWS.COM, PARIS – Presiden Prancis mendepak Kepala Direktorat Intelijen Militer (DRM) menyusul kegagalan intelijen negara itu mengendus gerakan militer Rusia ke Ukraina.
Jenderal Eric Vidaud diberhentikan hanya tujuh bulan setelah ditunjuk mengepalai badan intelijen paling strategis itu. Ia dianggap “buta” terkait serangan Rusia ke Ukraina.
Vidaud diangkat sebagai kepala intelijen militer musim panas lalu. Dia sebelumnya memimpin Komando Operasi Khusus Prancis (COS).
Vidaud dianggap berperan penting atas terbunuhnya pemimpin Al Qaeda di Maghreb Islam (AQIM) pada Juni 2020.
Baca juga: NATO Terbelah Hadapi Rusia, Prancis-Jerman Ingin Solusi Damai
Baca juga: Presiden Prancis Sesalkan Ucapan Joe Biden yang Sebut Presiden Putin Tukang Jagal
Baca juga: Amerika Serikat dan Sekutu Diminta Stop Drama di Konflik Rusia - Ukraina
Menurut media Prancis, masa jabatan singkat sang jenderal di pucuk pimpinan intelijen militer berakhir karena dianggap salah urus krisis Ukraina.
Pemerintah Prancis kini secara drastis mereorganisasi badan tersebut setelah serangan Rusia terhadap Kiev pada 24 Februari 2022.
Pemberhentian Vidaud pertama kali dilaporkan surat kabar L'Opinion, dan kemudian diliput media lain, termasuk kantor berita Agence France-Presse (AFP).
Mereka mengutip sumber yang mengetahui situasi tersebut. Menurut AFP, desas-desus tentang pengunduran diri Vidaud yang akan segera terjadi beredar di militer Prancis selama beberapa hari.
Beberapa mengharapkan dia menerima posisi tinggi lainnya, tetapi tampaknya jenderal itu tidak akan mengambil jabatan apapun sebagai gantinya.
Awal bulan ini, Kepala Staf Angkatan Darat Prancis, Jenderal Thierry Burkhard, mengatakan kepada Le Monde intelijen Prancis gagal memprediksi operasi militer Rusia.
Ia membandingkan dengan rekan-rekan mereka di Amerika. Satu sumber yang dikutip AFP menyatakan pemecatan Vidaud dikaitkan konflik Rusia- Ukraina tidak terlalu masuk akal.
Sebab badan yang dipimpin Vidaud bertugas menilai kemampuan militer Prancis, bukan niat pemerintah asing.
Secara prinsip dasar, intelijen militer Prancis yang dipimpin Vidaud telah mengatakan secara benar, Rusia memiliki sarana untuk menyerang Ukraina.
“Kami tidak dapat menggoreng perubahan kepemimpinan (intelijen) ini ke situasi Ukraina saja. Ini juga tentang reorganisasi badan,” kata sumber itu.
Kantor berita itu mengatakan krisis Ukraina membuat pemerintah Prancis memikirkan kembali bagaimana memperlakukan intelijen militer.
Ini kemungkinan akan memiliki peran yang lebih menonjol sebagai alat geopolitik di masa depan, sehingga reformasi diperlukan di lembaga ini.
Sikap Intelijen Selandia Baru ke Ukraina
Perkembangan lain, Selandia Baru akan membantu sekutu Eropanya dalam mengumpulkan informasi intelijen tentang operasi militer Rusia di Ukraina.
Hal ini dikemukakan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern. Angkatan Bersenjata Selandia Baru akan menggunakan kemampuannya selama tiga bulan ke depan untuk mendukung Inggris dan mitra Eropa lainnya.
“(Kita) mengambil keuntungan dari perbedaan zona waktu untuk membantu tugas-tugas utama mereka pada waktu malam dan siang hari mereka,” kata Ardern kepada media seusai rapat cabinet awal pecan ini.
Para menteri negara kepulauan itu telah memutuskan untuk segera mengirim sembilan perwira ke Inggris dan Belgia.
Mereka akan bertuga smembantu meningkatkan kapasitas penilaian intelijen di tengah konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.
Lima dari ahli tersebut akan memantau citra satelit, sementara sisanya akan ditugaskan untuk meningkatkan pemahaman Wellington tentang kegiatan sekutunya dan NATO.
Selandia Baru sebelumnya telah menyumbangkan 5 juta dolar AS untuk Dana Perwalian NATO, yang menyediakan bahan bakar, jatah militer, komunikasi dan peralatan P3K ke Kiev.
Sebanyak 6 juta dolar AS sisanya untuk mendukung warga sipil Ukraina yang terkena dampak konflik.
Wellington juga bergabung dengan sanksi internasional terhadap Moskow, yang menargetkan lebih dari 460 individu dan entitas Rusia.
“Kami tahu sanksi secara global telah mempersulit rezim Rusia untuk mendanai perangnya. Selandia Baru memainkan perannya,” kata Ardern.
Rusia mengirim pasukannya ke Ukraina lebih dari sebulan yang lalu, menyusul kebuntuan tujuh tahun atas kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan ketentuan perjanjian Minsk.
Rusia mengakui kedaulatan Republik Donbass di Donetsk dan Lugansk yang memerdekakan diri dari Kiev.
Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis telah dirancang untuk mengatur status wilayah-wilayah tersebut di dalam negara Ukraina.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO yang dipimpin AS.
Kiev bersikeras serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan telah membantah mereka merencanakan merebut kembali kedua republik secara paksa.(Tribunnews.com/Sputniknews/xna)