TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW – Pada 2 Juni 2021, Rusia untuk pertama kalinya dalam 30 tahun sejarahnya, merilis dokumen, “Prinsip Dasar Kebijakan Negara Federasi Rusia tentang Pencegahan Nuklir.”
Dokumen itu menjelaskan kebijakan penggunaan senjata nuklir Rusia. Lewat “Prinsip Dasar” itu Rusia memperjelas sikap senjata nuklir dipandang “secara eksklusif sebagai alat pencegahan.”
Dalam artikel yang ditulis kolumnis AS Scott Ritter, penggunaan senjata nuklir Rusia hanya dapat dilakukan sebagai “tindakan ekstrem dan terpaksa.”
Kekuatan nuklir strategis Rusia diatur sedemikian rupa sehingga ada “pembalasan yang tak terhindarkan” jika terjadi serangan nuklir terhadap Rusia.
Baca juga: Anggap NATO Ikut Perang, Menlu Rusia Ingatkan untuk Tak Remehkan Risiko Perang Nuklir
Baca juga: Rusia Peringatkan Swedia-Finlandia Jika Gabung NATO, Ancam Kerahkan Senjata Nuklir dan Rudal
Baca juga: Pesawat Militer Rusia yang Membawa Hulu Ledak Nuklir Memasuki Wilayah Uni Eropa
Kekuatan ini dirancang untuk menimbulkan “kerusakan yang dijamin tidak dapat diterima” pada setiap musuh potensial.
Singkatnya, negara mana pun yang jadi sasaran nuklir Rusia tidak akan ada lagi eksistensinya sebagai negara modern.
Dokumen postur nuklir merinci prosedur Rusia akan meluncurkan senjata nuklirnya jika menerima "data yang dapat diandalkan tentang peluncuran rudal balistik yang menyerang wilayah Rusia dan/atau sekutunya."
Rusia akan membalas jika senjata nuklir digunakan untuk melawan Rusia dan/atau sekutunya.
Dokumen tersebut juga menguraikan dua skenario non-nuklir di mana Rusia akan membalas menggunakan senjata nuklir.
Pertama melibatkan serangan musuh terhadap situs pemerintah atau militer Rusia yang vital, gangguan yang akan merusak tindakan respons kekuatan nuklir (yaitu apa yang disebut serangan langsung ke kepemimpinan politik dan militer Rusia).
Seperti ditunjukkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov saat melawat ke India, tidak satu pun dari kondisi yang ditetapkan dalam dokumen "Prinsip Dasar" yang berlaku untuk situasi saat ini di Ukraina.
Namun, ini tidak berarti bahwa konflik Ukraina tidak mengakibatkan peningkatan suhu nuklir di Eropa.
Di Swedia, dukungan untuk bergabung dengan NATO semakin meningkat, dan Finlandia dapat mengajukan permohonan keanggotaan dalam beberapa minggu.
Jika blok yang dipimpin AS meluas ke kedua negara ini, mungkin ada kemungkinan respons militer oleh Rusia, atau setidaknya peningkatan pasukan Rusia.
Menurut Dmitry Medvedev, mantan presiden dan perdana menteri yang saat ini menjadi penasihat Presiden Putin tentang masalah keamanan nasional, jika Swedia atau Finlandia bergabung dengan NATO, “tidak mungkin lagi membicarakan status bebas nuklir di Baltik.
Keseimbangan menurutnya harus dipulihkan. Medvedev mencatat Rusia belum mengambil tindakan seperti itu dan tidak akan melakukannya.
Tetapi ia menambahkan “jika tangan kami dipaksa, yah… perhatikan bukan kami yang mengusulkan ini,” katanya dikutip Scott Ritter, analisis dan mantan intel Korps Marinir AS.
Scott Ritter Ingatkan Perilaku Agresif NATO
Mantan perwira Korps Marinir AS Scott Ritter memperingatkan semua sikap agresif dan tidakk bertanggungjawab NATO bisa mendorong Rusia menggunakan senjata nuklirnya.
Inspektur senjata nuklir yang bertugas sebagai staf era Jenderal Norman Schwarzkopf selama Perang Teluk I itu menunjuk upaya menarik Finlandia dan Swedia menjadi anggota penuh NATO.
Kedua negara tertarik membeli jet tempur F-35A dari AS. Pesawa tempur itu berkemampuan nuklir, dan sangat diperhitungkan Rusia dalam peta konflik di kawasan Baltik.
Scott Ritter pernah jadi pengawas senjata pemusnah massal di Irak, dan ia kini banyak menulis isu-isu keamanan internasional, urusan militer, Rusia, dan Timur Tengah.
Artikel yang ditulis Scott Ritter dipublikasikan di situs Russia Today, Selasa (26/4/2022). Ritter mengritik reaksi berlebihan elite dan kalangan intelijen AS.
“Rusia mungkin tak bersiapmenggunakan senjata nuklir di Ukraina. Namun, sikap NATO yang tak bertanggung jawab dapat mengakibatkan peningkatan potensi senjata nuklir Rusia untuk digunakan di Eropa,” tulis Ritter di artikel terbarunya.
Jet tempur paling modern produksi AS F-35A disertifikasi sebagai pesawat berkemampuan nuklir pada Oktober 2021, telah diuji menggunakan bom nuklir B-61.
Stok Bom Nuklir AS di Eropa
AS menyimpan persediaan sekitar 150 bom nuklir B-61 di berbagai depot di seluruh Eropa. Senjata-senjata ini dimaksudkan untuk digunakan AS dan yang disebut anggota NATO “non-nuklir”.
Sekutu NATO saat ini mengoperasikan F-35, seperti Polandia, Denmark, dan Norwegia. Mereka mungkin dimintamendukung misi berbagi nuklir NATO di masa depan.
Finlandia baru-baru ini mengumumkan rencana membeli 60 pesawat tempur F-35A, sebuah langkah yang hanya dapat dianggap mengkhawatirkan oleh Rusia mengingat keinginan Finlandia untuk bergabung ke NATO.
Penggunaan ekstensif oleh AS dan angkatan udara NATO lainnya dari F-35A untuk mendukung apa yang disebut operasi “pemolisian udara Baltik”.
Usaha itusedang berlangsung dilangit Latvia, Estonia, dan Lithuania, yang dipandang Rusia sebagai ancaman serius, mengingat bahwa setiap F-35A di udara harus diperlakukan sebagai potensi ancaman bersenjata nuklir.
NATO seharusnya menyadari fakta “Prinsip Dasar Rusia” yang mencantumkan penyebaran senjata nuklir dan sarana pengirimannya di wilayah senjata non-nuklir" sebagai skenario " dinetralisir menggunakan pencegahan nuklir."
Sikap Berlebihan Intelijen AS
Direktur Central Intelligence Agency (CIA), William Burns, baru-baru ini menjadi berita utama saat menjawab pertanyaan dari wartawan tentang ancaman yang ditimbulkan oleh senjata nuklir Rusia dalam konteks konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.
“Mengingat potensi keputusasaan Presiden [Vladimir] Putin dan kepemimpinan Rusia, mengingat kemunduran yang mereka hadapi sejauh ini secara militer, tidak ada dari kita yang dapat menganggap enteng ancaman yang ditimbulkan oleh potensi penggunaan senjata nuklir taktis atau nuklir hasil rendah. senjata,” kata Burns saat itu.
Pernyataan Burns berasal dari fakta yang diumumkan Ukraina, AS dan media arat yang menyatakan Rusia mengalami kemunduran serius di Ukraina dan sangat ingin menyelamatkan situasi militer di lapangan.
Rusia membantah hal ini, menyatakan apa yang disebutnya "operasi militer khusus" di Ukraina berjalan sesuai rencana, setelah beralih ke fase kedua, yang berfokus pada penghancuran pasukan militer Ukraina di dalam dan sekitar wilayah Donbass.
Burns tidak dapat memberikan bukti nyata untuk mendukung klaimnya tentang kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir di Ukraina.
“Meskipun kami telah melihat beberapa sikap retoris di pihak Kremlin tentang pindah ke tingkat siaga nuklir yang lebih tinggi, sejauh ini kami belum melihat banyak bukti praktis dari jenis pengerahan atau disposisi militer yang akan memperkuat kekhawatiran itu,” kata Burns.
“Tapi kami sangat memperhatikannya, ini adalah salah satu tanggung jawab terpenting kami di CIA,” katanya.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)