Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah menyatakan sikap atas konflik Rusia dan Ukraina.
Seperti dikatakan juru bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah beberapa waktu silam, bahwa Indonesia prihatin dengan konflik bersenjata antara Ukraina dan Rusia karena membahayakan keselamatan warga sipil, serta berharap kedua pihak mengedepankan diplomasi dan mengutamakan penyelesaian damai.
Teuku juga menyebut Indonesia mengecam setiap tindakan pelanggaran wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara sesuai hukum internasional dan Piagam PBB mengenai integritas teritorial.
Terkait konflik Ukraina Rusia, Indonesia terus berupaya memberi keyakinan bahwa perdamaian adalah jalan keluar terbaik.
Meski demikian, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Prof Maswadi Rauf menilai Pemerintah Indonesia mengambil sikap netral terhadap konflik kedua negara tersebut.
Ia pun mempertanyakan sikap tersebut dengan mengatakan, sejatinya dalam politik luar negeri Indonesia, terma ‘netral’ adalah istilah yang tidak dikenal.
“Bisa saya katakan, kata ‘netral’ adalah istilah yang tidak dikenal dalam politik luar negeri Indonesia,” kata Prof Maswadi dalam peluncuran buku “Cinta Keduaku Berlabuh di Ukraina” karya mantan Duta Besar Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia, Prof Dr Yuddy Chrisnandi, di Aula Harian Umum ‘Pikiran Rakyat’, Jalan Asia-Afrika, Bandung, Selasa (21/6/2022) sore.
Baca juga: Ekonomi Jerman Menuju Jurang Resesi oleh Embargo Gas Rusia
Indonesia, menurut Prof Maswadi, memiliki istilah tersendiri yang lebih cederung menegaskan sikap proaktif.
“Kita memilih memakai terma bebas aktif dalam politik luar negeri,” lanjut dia.
Makanya, ia mempertanyakan mengapa Indonesia memilih dan menyatakan sikap ‘netral’ dalam sengkarut kemanusiaan yang tengah berlangsung di Ukraina tersebut.
“Mengapa Indonesia mengambil sikap tersebut? Mengapa menyatakan ‘netral’, sementara jelas-jelas politik luar negeri Indonesia adalah bebas-aktif,” kata Prof Maswadi.
Netral, terang Prof. Maswadi, mencerminkan pilihan sikap dari pihak yang tidak punya prinsip dan cenderung dipilih mereka yang tak punya pegangan untuk bersikap, terutama saat menghadapi kesulitan memilih di antara dua alternatif.
“Apa mentang-mentang karena Indonesia jadi presiden G-20,” kata Prof Maswadi.
Bagi Maswadi, apa salahnya bersikap ‘bebas-aktif’, termasuk bebas untuk menyatakan dengan tegas siapa yang bersalah dalam sengkarut tersebut.
'Netral’-nya Indonesia, menurut dia, cenderung mengingkari komitmen terhadap Dasa Sila Bandung yang dihasilkan bangsa-bangsa dunia ketiga dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun 1955.
Diterangkannya, dari 10 poin hasil pertemuan KAA tersebut, setidaknya empat di antaranya relevan dengan persoalan perang Ukraina-Rusia saat ini.
Keempat sila itu adalah sila kedua, menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa; sila keempat yakni tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain; sila kelima menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.
Kemudian sila ketujuh, tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara; serta sila kedelapan, yakni menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.