Laporan Wartawan Tribunnews.com, Yanuar Riezqi Yovanda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Krisis hingga kebangkrutan telah memberikan dampak mendalam bagi kelas menengah Sri Lanka, yang diperkirakan mencapai 15 persen hingga 20 persen atau seperlima dari populasi perkotaan negara itu.
Diketahui, kelas menengah di Sri Lanka mulai membengkak pada 1970-an, setelah ekonomi terbuka untuk lebih banyak perdagangan dan investasi, dan ini telah berkembang pesat sejak itu.
Sampai saat ini, keluarga kelas menengah di Sri Lanka umumnya menikmati keamanan ekonomi, sehingga mereka yang tidak pernah berpikir dua kali tentang bahan bakar atau makanan, sedang berjuang untuk mengatur makan tiga kali sehari.
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Bangkrut, IMF Diminta Jadi Pahlawan
“Mereka benar-benar tersentak tidak seperti waktu lainnya dalam tiga dekade terakhir,” ujar Bhavani Fonseka, peneliti senior di Pusat Alternatif Kebijakan di Kolombo, Ibu Kota Sri Lanka, melansir abcnews.go.com, Kamis (23/6/2022).
Menurut Fonseka, jika kelas menengah berjuang seperti ini, bayangkan saja betapa terpukulnya mereka yang berada di kelas lebih rentan.
Dirinya menilai situasi ini telah menggagalkan kemajuan selama bertahun-tahun menuju gaya hidup relatif nyaman yang dicita-citakan di seluruh Asia Selatan.
Adapun pejabat pemerintah telah diberikan libur setiap hari Jumat selama tiga bulan untuk menghemat bahan bakar dan menanam buah dan sayuran mereka sendiri.
Baca juga: Ekonomi Sri Lanka Runtuh Setelah Berbulan-bulan Kekurangan Pasokan Makanan
"Tingkat inflasi untuk makanan adalah 57 persen, menurut data resmi," ujarnya.