Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, COLOMBO - Didorong oleh kekurangan bahan bakar jet dan masalah dana repatriasi sebagai akibat dari krisis valuta asing (valas), maskapai penerbangan di Sri Lanka telah mengurangi frekuensi penerbangan sebesar 53 persen selama beberapa bulan terakhir.
Keputusan ini tentu saja menghadirkan tantangan lain bagi industri pariwisata negara yang sedang berjuang keluar dari kebangkrutan itu.
Dikutip dari lamanĀ www.dailymirror.lk, Senin (4/7/2022), perwakilan lokal dari maskapai terkemuka negara tersebut mengungkapkan bahwa maskapainya terpaksa melakukan pengurangan frekuensi ini.
Baca juga: Presiden Sri Lanka Menghilang saat Negara Hadapi Krisis Serius
Langkah ini lebih ringan jika dibandingkan keputusan yang diambil oleh beberapa maskapai yang telah menarik diri dari negara itu.
Menurut Laporan Statistik Tren Frekuensi dan Kapasitas Maskapai Penerbangan Worldwide Limited, kapasitas kursi udara ke Sri Lanka turun 27,6 persen secara tahunan atau Year on Year (YoY) menjadi 313.358 kursi pada Juni lalu.
Karena kekurangan devisa di pasar, perwakilan maskapai penerbangan lokal pun berjuang untuk mengirimkan dana yang dikumpulkan melalui penjualan tiket yang terutang kepada prinsipal mereka.
Pengiriman dilakukan melalui saluran perbankan selama 6 bulan terakhir, yang telah tumbuh menjadi 150 juta dolar Amerika Serikat (AS) per hari ini.
Sebagai solusi untuk masalah ini, perwakilan maskapai telah meminta pemerintah Sri Lanka untuk menyediakan 2 persen dari hasil ekspor yang dikumpulkan oleh Bank Sentral untuk sumber valas yang diperlukan, demi mengirimkan dana kepada prinsipal mereka.
Selanjutnya, mereka telah mendesak pemerintah untuk mengizinkan maskapai penerbangan membayar biaya penanganan darat, yang tetap menjadi salah satu tertinggi di wilayah tersebut, dalam bentuk rupee hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Namun, pemerintah negara itu belum menanggapi positif terkait usulan tersebut.
Baca juga: Sri Lanka Cari Dana untuk Bayar Pengiriman Bahan Bakar Impor
Sementara itu, fenomena kelangkaan bahan bakar jet yang muncul pada Mei lalu menjadi faktor lain bagi maskapai untuk memangkas frekuensi penerbangannya.
Sejak 28 bulan lalu dan seterusnya, Otoritas Penerbangan Sipil (CAA) meminta maskapai penerbangan membawa bahan bakar untuk perjalanan pulang mereka, karena stok bahan bakar jet telah mengering di Sri Lanka.
"Ini berdampak pada profitabilitas maskapai. Dengan membawa bahan bakar penuh, maskapai harus mengurangi jumlah kursi yang ditawarkan kepada penumpang sambil membatasi kargo, selain mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat pemberhentian bahan bakar di rute," kata perwakilan maskapai.
Jika situasi yang menantang saat ini masih berlangsung, maka maskapai penerbangan akan dipaksa untuk memangkas frekuensi mereka secara drastis dengan beberapa diantaranya benar-benar menarik diri dari Sri Lanka.
Baca juga: Perdana Menteri Sri Lanka: Stabilisasi dan Pemulihan Negara Butuh Waktu Sekitar 18 Bulan
"Ini akan mengakibatkan semakin berkurangnya konektivitas udara ke negara itu, dengan dampak jangka panjangnya akan berimbas pada pariwisata. Dibutuhkan 6 hingga 12 bulan untuk meyakinkan maskapai agar mengubah rute," jelas perwakilan maskapai.