News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Presiden Joe Biden Tekan Saudi, Pangeran MBS Ingatkan Penyiksaan di Irak

Penulis: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Amerika Serikat Joe Biden bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman di Riyadh, Sabtu (16/7/2022).

TRIBUNNEWS.COM, RIYADH –  Presiden AS Joe Biden dalam pertemuannya dengan Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) menyinggung kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khasoggi.

Washington dan CIA telah menyimpulkan pembunuhan di dalam komplek Konsulat Saudi Arabia di Istanbul, Turki, itu melibatkan putra mahkota Pangeran Muhammad bin Salman (MBS).

Sumber pejabat Saudi yang turut dalam pertemuan itu di Riyadh, menceritakan Pangeran MBS langsung mengingatkan kasus penyiksaan militer AS di Irak.

Pangeran MBS juga menyinggung sikap Washington terkait pembunuhan jurnalis Aljazeera di Palestina Shireen Abu Akhleq yang berkewarganegaraan AS.

Baca juga: Presiden AS Joe Biden Bertemu Pangeran MBS Bahas Pembunuhan Jamal Khasoggi

Baca juga: Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Israel Yair Lapid Tandatangani Deklarasi Anti-Iran

Baca juga: Dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan, 5 Pembunuh Jurnalis Arab Saudi Jamal Khasoggi Dihukum Mati

Kunjungan politik Joe Biden ke Saudi ini dipandang menarik, karena memperlihatkan sikap baru AS terhadap negara kunci di Timur Tengah itu.

Apakah Biden berhasil mengatur ulang hubungan Washington dan Riyadh dan menegaskan posisi kepemimpinan AS di wilayah tersebut?

Analis politik yang berbasis di Riyadh, Dr Ahmed Al Ibrahim, Minggu (17/7/2022) melihat isu energi tampaknya menjadi alasan sebenarnya di balik kunjungan Biden ke kerajaan Saudi.

Biden di masa lalu pernah menyatakan AS akan menjadikan Saudi negara paria dalam kampanye kepresidenan 2019-2020.

Sejak awal 2021, harga minyak telah melonjak lebih dari dua kali lipat di AS, mendorong pemerintahan Biden untuk mendekati Saudi dan sekutu OPEC mereka.

"Kebijakan minyak di Arab Saudi cukup banyak diatur," kata Dr Ahmed Al Ibrahim. Namun Saudi juga terikat OPEC, sehingga tidak bisa bergerak sendirian.

Menurut Al Ibrahim, pasar minyak sudah jenuh dengan minyak. Ekstraksi lebih lanjut hanya dapat mengganggu keseimbangan.

Pada 30 Juni, pejabat dari OPEC, Rusia dan negara-negara penghasil minyak lainnya mengkonfirmasi keputusan mereka untuk meningkatkan produksi sebesar 648.000 barel per hari pada Agustus.

"Saya pikir sebagian besar negara OPEC+, mereka hampir mencapai produksi maksimum," jelas Al Ibrahim.

Dia tidak melihat cara untuk meningkatkan ekstraksi minyak secara signifikan di masa mendatang.

"Sekarang, Biden mengatakan semua itu," kata Al Ibrahim.

Perubahan Situasi di Timur Tengah

Awal pekan ini, Purnima Anand, Presiden Forum Internasional BRICS, mengatakan kepada surat kabar Rusia Izvestia Turki, Mesir, dan Arab Saudi sedang bersiap mengajukan keanggotaan di BRICS.

BRICS ini akronim lima negara berkembang, Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan yang membentuk blok ekonomi baru.

Mengenai isu lain, Al Ibrahim menyoroti langkah Presiden AS Joe Biden yang tidak bisa tidak mengangkat masalah pembunuhan Jamal Khashoggi dalam kunjungannya itu.

Kerajaan Saudi telah bergerak cepat menyelidiki kasus itu, menangkap para pelakunya yang juga orang-orang intelijen di lingkaran dekat Pangeran MBS.

Putra Khashoggi, Salah, kemudian mengumumkan pengadilan Saudi telah berlaku adil kepada keluarganya dan keadilan telah tercapai.

Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman diduga menyebut jejak panjang "kesalahan" Washington yang dibuat di Irak dan Afghanistan ketika Presiden Joe Biden mengkonfrontasinya atas pembunuhan mengerikan kolumnis Washington Post Jamal Khashoggi.

Itu menurut Reuters, mengutip pernyataan yang dibuat oleh seorang pejabat senior Saudi kepada Reuters pada Sabtu.

Sementara Arab Saudi mengakui “kesalahannya” yang dibuat dalam urusan Khashoggi, ia telah mengambil semua tindakan untuk mencegah kesalahan serupa di masa depan.

Menurut pengamat Teluk, pernyataan terbaru Biden bahwa dia menganggap putra mahkota bertanggung jawab atas tragedi itu terutama ditujukan pada basis pemilihannya menjelang pemilihan paruh waktu November.

"Presiden Biden, bahkan ketika dia berada di sini di kawasan ini, memiliki pikirannya di Washington dan berbicara kepada audiens di Amerika," kata Abdulla.

"Mungkin dia ingin memanfaatkan penampilannya di Washington, di Riyadh dan di Jeddah. Dia tahu itu adalah segmen besar di partainya sendiri, orang-orang di sebelah kiri mendengarkannya dengan sangat hati-hati, mengevaluasinya."

Jawaban putra mahkota Saudi langsung jelas terdengar. Pangeran MBS menegaskan Arab Saudi telah menangani masalah ini dan hakim negara memiliki keputusan akhir.

Riyadh sangat menyadari masalah Khashoggi sangat dipolitisasi Washington dan dengan tegas menolak tuduhan Gedung Putih.

Menanggapi tuduhan pemerintah Biden, MBS mengutip penyiksaan Abu Ghraib dan penyalahgunaan tahanan yang dilakukan oleh militer AS dan personel CIA di Irak pada awal 2000-an.

Banyak kasus-kasus liar di berbagai tempat yang menurut Saudi terjadi di bawah pengawasan pemerintah AS.

Riyadh juga mengutip fakta pada tahun sama ketika Khashoggi dibunuh, lebih dari 248 jurnalis terbunuh di seluruh dunia dan tidak ada yang membicarakan mereka.

Al Ibrahim menduga tidak ada hal dan komitmen baru diperoleh Presiden Biden dari Timur Tengah, terutama Arab Saudi.

“Para pemimpin Teluk yang sekarang belum tentu sama dengan para pemimpin lama. Mereka memiliki agenda baru. Mereka memiliki visi baru mereka sendiri," katanya.

Satu-satunya pertanyaan adalah apakah Washington telah memahami hal ini dan akan mendamaikan dirinya dengan kenyataan baru ini.

Pangeran MBS pada 16 Juli menegaskan soal isu minyak, Riyadh bisa meningkatkan produksi minyak mentah dari 10 juta barel per hari menjadi 13 juta per hari pada 2027.

Dr Abdulkhaleq Abdulla, profesor ilmu politik di Universitas Emirates mengomentari, Biden masih belum menunjukkan sikapnya yang jelas tentang posisi AS di Timur Tengah.

Meski telah menyatakan AS takkkan meninggalkan Timur Tengah dan memberikan kesempatan kepada Cina dan Iran untuk mengisi kekosongan, kebijakan AS agak berubah.

Pada Juni 2021 Pentagon telah menarik sekitar delapan baterai anti-rudal Patriot dari Irak, Kuwait, Yordania, dan Arab Saudi.

Sistem anti-rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) juga ditarik dari Arab Saudi pada waktu itu.

Washington menurutnya mengalihkan fokusnya ke Eropa dan Indo-Pasifik dari Timur Tengah.(Tribunnews.com/RT/Sputniknews/xna)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini