Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, BANGKOK – Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa kini berada di Thailand setelah kabur dan sempat tinggal di Singapura karena adanya gelombang protes anti-pemerintah di negaranya.
Dilansir dari Aljazeera, Jumat (12/8/2022) seorang pejabat senior Thailand mengatakan bahwa Rajapaksa telah mendarat di Bandara Internasional Don Mueang Bangkok pada Kamis (11/8) malam waktu setempat.
Sebelumnya, pejabat di Thailand telah diminta oleh Pemerintah Sri Lanka untuk mengizinkan Rajapaksa masuk dan tinggal sementara di negara itu.
Sementara juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand, Tanee Sangrat pada hari Rabu (10/8) mengatakan, kunjungan Rajapaksa ke Thailand hanya bersifat sementara, Dia juga menambahkan bahwa Rajapaksa tidak mencari suaka politik.
Selain dikritik karena salah mengelola ekonomi negaranya, Rajapaksa juga dituduh oleh kelompok hak asasi manusia terlibat dalam kejahatan perang ketika ia menjadi menteri pertahanan selama perang saudara Sri Lanka, yang berakhir pada 2009.
Sebuah kelompok hak asasi manusia internasional bulan lalu secara resmi meminta Singapura untuk mendakwa Rajapaksa atas kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang saudara di negaranya.
Singapura Perpanjang Masa Tinggal Rajapaksa
Rajapaksa telah melarikan diri ke Singapura melalui Maladewa tak lama setelah pengunjuk rasa yang marah menyerbu kediaman resminya di Kolombo. Dia secara resmi mengundurkan diri sebagai presiden Sri Lanka setelah tiba di Singapura pada 14 Juli.
Dan pada akhir Juli lalu, Pemerintah Singap
ura telah memperpanjang masa tinggal Rajapaksa selama 14 hari hingga 11 Agustus 2022.
Saat itu, Pemerintah Singapura mengatakan bahwa Rajapaksa belum diberikan suaka, dan berada di Singapura hanya untuk kunjungan pribadi.
Krisis ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara yang berpenduduk sekitar 22 juta jiwa telah mengalami krisis ekonomi terburuk dalam beberapa bulan terakhir.
Baca juga: Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Dijadwalkan Jalani Sidang Atas Petisi Krisis Ekonomi
Mengutip dari Aljazeera, Sri Lanka dihadapkan pada kekurangan bahan bakar, makanan dan obat-obatan. Krisis itu semakin diperparah oleh pinjaman dalam jumlah besar yang tidak mampu dibayarkan oleh negara itu.
Akibat krisis itu, Sri Lanka memilih untuk menangguhkan pembayaran pinjaman luar negerinya senilai 51 miliar dolar AS, di mana 28 miliar dolar AS harus dibayar pada tahun 2027.