TRIBUNNEWS.COM - Ukraina mengumumkan 215 militer Ukraina dan warga asing yang berjuang untuk Kyiv, telah dibebaskan oleh Rusia dalam pertukaran tahanan.
Di antaranya termasuk para pejuang Batalion Azov yang memimpin pertahanan di pabrik baja Azovstal, di Mariupol.
Dilansir The Guardian, Rusia menerima 55 tahanan termasuk sekutu Presiden Vladimir Putin, Viktor Medvedchuk.
Ia merupakan mantan anggota parlemen Ukraina yang dituduh melakukan pengkhianatan tingkat tinggi, jelas Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dalam pidato hariannya.
Medvedchuk ditangkap pada bulan April, setelah melarikan diri dari tahanan rumah atas tuduhan makar beberapa hari setelah invasi Rusia.
Pada saat itu, Zelensky menyarankan untuk menukarnya dengan tawanan perang Ukraina yang ditahan oleh Rusia.
Baca juga: Takut Disuruh Ikut Perang di Ukraina, Warga Rusia Ramai-ramai Tinggalkan Negaranya
Namun saat itu, Kremlin menolak tawaran tersebut.
Pada bulan Mei, para pejuang Azov menyerah setelah pengepungan yang lama di pabrik baja Azovstal dan kemudian dipindahkan ke wilayah yang dikuasai Rusia.
Pertukaran tahanan kali ini adalah yang terbesar antara Rusia dan Ukraina sejak dimulainya invasi pada Februari.
"Kami telah berhasil membebaskan 215 orang," kata kepala staf kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak di televisi.
Zelensky mengatakan, lima komandan militer termasuk pemimpin pertahanan Azovstal dibawa ke Turki sebagai bagian dari operasi yang disepakati dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan.
Para tahanan yang dibebaskan akan tetap berada di Turki "dalam keamanan total dan dalam kondisi yang nyaman" sampai akhir perang, tambahnya.
Belum ada komentar dari Moskow terkait hal ini.
Zelensky menambahkan, sepuluh tawanan perang termasuk lima warga Inggris dan dua warga Amerika telah dipindahkan dari Rusia ke Arab Saudi pada Rabu (21/9/2022) pagi waktu setempat.
Pada hari Selasa (20/9/2022) sebelumnya, Erdogan mengatakan kepada media AS bahwa Rusia dan Ukraina telah setuju untuk menukar 200 tahanan.
Mariupol, kota pelabuhan di Laut Azov tenggara Ukraina, bertahan selama berminggu-minggu dari pengeboman konstan Rusia.
Perlawanan yang dipimpin pejuang Azov terpusat di jaringan terowongan bawah tanah di pabrik baja Azovstal.
Lima Warga Inggris Dibebaskan Putin
Perdana Menteri Inggris, Liz Truss mengumumkan dibebaskannya lima warga negara Inggris yang ditahan oleh pasukan Rusia di Ukraina pada Rabu (21/9/2022).
"Berita yang sangat disambut baik bahwa lima warga negara Inggris yang ditahan oleh proksi yang didukung Rusia di Ukraina timur telah kembali dengan selamat, mengakhiri bulan-bulan ketidakpastian dan penderitaan bagi mereka dan keluarga mereka," cuitnya, dilansir dari Evening Standard.
Truss mengucapkan terima kasih kepada Presiden Zelensky atas upaya pembebasan warga negaranya serta bantuan dari Arab Saudi.
"Rusia harus mengakhiri eksploitasi kejam terhadap tawanan perang dan tahanan sipil untuk tujuan politik," imbuhnya.
Aiden Aslin, John Harding, dan Shaun Pinner, yang ditangkap saat berperang dengan pasukan Ukraina, termasuk di antara mereka yang dibebaskan.
Foto yang dirilis pada Kamis (22/9/2022) menunjukkan tiga tahanan itu telah tiba di Riyadh.
Bicara dalam sebuah video yang diposting dari pesawat, Aslin mengatakan:
"Kami hanya ingin semua orang tahu bahwa kami sekarang keluar dari zona bahaya dan kami sedang dalam perjalanan pulang ke keluarga kami."
Baca juga: Rusia Rekrut Pengunjuk Rasa Anti-Perang jadi Militer setelah Putin Umumkan Mobilisasi Parsial
Baca juga: Reaksi AS hingga China atas Rencana Mobilisasi Parsial Putin dalam Perang Ukraina
Aslin adalah salah satu dari tiga warga Inggris, bersama dengan Shaun Pinner dan Brahim Saadoun kelahiran Maroko, yang ditangkap awal tahun ini.
Mereka dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Republik Rakyat Donetsk (DPR), salah satu proksi Rusia di timur Ukraina.
Pembebasan mereka merupakan bagian dari pertukaran tahanan antara Rusia dan Ukraina, yang ditengahi oleh Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman.
Para tahanan yang dibebaskan lainnya meliputi warga negara Amerika, Inggris, Kroasia, Maroko dan Swedia, kata Kementerian Luar Negeri Saudi dalam sebuah pernyataan.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)