TRIBUNNEWS.COM - Jenazah tentara Rusia tergeletak di jalanan di Lyman, kota utama di Ukraina timur pada Selasa (4/10/2022), menyusul mundurnya pasukan Putin dari wilayah tersebut.
Pasukan Rusia ditarik mundur dari Kota Lyman selama akhir pekan untuk menghindari pengepungan oleh pasukan Ukraina.
Keberhasilan Ukraina merebut kembali kota ini, memperbesar peluang untuk melakukan serangan lebih dalam ke wilayah yang dikuasai Rusia.
Dilansir AP News, pasukan Ukraina mengumpulkan mayat rekan-rekannya setelah pertempuran sengit untuk merebut kembali Lyman, kota yang menjadi pusat logistik dan transportasi utama militer Rusia.
Namun, mereka belum memindahkan mayat para tentara Rusia.
"Kami berjuang untuk tanah kami, untuk anak-anak kami, sehingga orang-orang kami dapat hidup lebih baik, tetapi semua ini harus dibayar dengan harga yang sangat tinggi," kata seorang tentara Ukraina yang menggunakan nama samaran.
Baca juga: Kalah di Lyman, Pasukan Militer Rusia Diejek Dua Sekutu Dekat Vladimir Putin
Penduduk Lyman keluar dari ruang bawah tanah, tempat mereka bersembunyi selama pertempuran, dan membangun api unggun untuk memasak.
Kota ini tidak memiliki air, listrik, atau gas sejak Mei.
Seorang wanita berusia 85 tahun yang menggunakan nama patronimiknya, Valentyna Kuzmichna, menceritakan insiden ledakan baru-baru ini.
"Saya sedang berdiri di aula, sekitar 5 meter jauhnya, ketika itu menggelegar," katanya.
"Sekarang saya tidak bisa mendengar dengan baik."
Pasukan Rusia mengirim lebih banyak rudal di kota-kota Ukraina pada Selasa (4/10/2022) ketika pasukan Kyiv melancarkan serangan balasan di timur dan selatan.
Beberapa rudal menghantam kota terbesar kedua di Ukraina, Kharkiv, merusak infrastrukturnya dan menyebabkan pemadaman listrik.
Gubernur Kharkiv, Oleh Syniehubov mengatakan satu orang tewas dan sedikitnya dua lainnya, termasuk seorang gadis berusia 9 tahun, terluka.
Di selatan, empat warga sipil terluka ketika rudal Rusia menghantam Kota Nikopol.
Pada Senin (3/10/2022), pasukan Ukraina juga mencetak keuntungan yang signifikan di selatan.
Mereka mengibarkan bendera di atas desa Arkhanhelske, Myroliubivka, Khreshchenivka, Mykhalivka dan Novovorontsovka.
Keberhasilan Ukraina di timur dan selatan terjadi ketika Rusia dalam proses meresmikan pencaplokan empat wilayah Ukraina.
Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Dewan Federasi, pada Selasa ini meratifikasi perjanjian untuk menjadikan wilayah timur Donetsk dan Luhansk serta wilayah Kherson dan Zaporizhzhia selatan bagian dari Rusia.
Sekutu Cemooh Pasukan Putin
Penarikan pasukan Rusia dari kota strategis di timur Ukraina memicu ejekan dari sekutu dekat Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Hilangnya Kota Lyman, di Donetsk, membuat Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov buka suara.
Kemunduran pasukan Rusia di Kota Lyman, membuat bagian barat wilayah Luhansk dalam ancaman.
Kadyrov menyarankan Rusia mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir taktis berdaya rendah di Ukraina, lapor Reuters.
"Nepotisme di tentara tidak akan membawa kebaikan," kata Kadyrov, seraya menambahkan bahwa komandan pasukan Rusia di daerah itu harus dilucuti medalinya dan dikirim ke garis depan dengan senjata untuk menghapus rasa malunya dengan darah.
Kadyrov mengatakan kritiknya adalah kebenaran pahit tentang pasukan tempur Rusia, yang menurutnya berisi orang-orang tanpa kemampuan serta mengecewakan negara.
Baca juga: Korea Utara Dukung Hasil Referendum terkait Pencaplokan 4 Wilayah Baru ke Rusia
Baca juga: Pemimpin Chechnya Berjanji Kirim Anak-anaknya yang Masih Remaja ke Medan Perang untuk Bantu Rusia
Pria yang dikenal sebagai salah satu pendukung setia Putin ini, sejak awal mendukung invasi Rusia ke Ukraina serta mengirim banyak militer Chechnya ke garis depan.
Kadyrov mengaku telah memperingatkan Valery Gerasimov soal kemungkinan kekalahan di Kota Lyman sejak dua pekan lalu, namun tidak diindahkan.
Valery Gerasimov (67), merupakan kepala staf umum Rusia sekaligus orang terkuat ketiga di militer setelah Putin dan Menteri Pertahanan Sergei Shoigu.
"Saya tidak tahu apa yang dilaporkan kementerian pertahanan kepada panglima tertinggi (Putin), tetapi menurut pendapat pribadi saya, tindakan yang lebih drastis harus diambil," kata Kadyrov.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)