Biden menanggapinya dengan berjanji untuk mengevaluasi kembali hubungan AS-Saudi, dengan mengatakan, akan ada konsekuensinya.
Riyadh dalam berbagai kesempatan kerap mengungkapkan kecenderungan untuk semaki menjauh dari Washisngton.
Saudi berusaha mengurangi ketergantungan ke AS dan sekutu baratnya, dan mulai melirik China, Rusia, dan bahkan ingin bergabung ke blok ekonomi baru BRICS.
Dipimpin Arab Saudi, kelompok produsen minyak utama OPEC telah memutuskan untuk memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari.
Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah mendorong untuk meningkatkan produksi guna menurunkan harga dan mengguncang keuangan Rusia, yang bergantung pada ekspor minyak.
“AS pasti menganggap ini sebagai penghinaan,” kata Amrita Sen, salah satu pendiri Energy Aspects, sebuah konsultan energi. “Ada banyak kemarahan terhadap Arab Saudi saat ini.”
Tetapi karena kekhawatiran akan resesi global tumbuh, para ahli mengatakan Arab Saudi juga memiliki alasan untuk mengamankan pendapatan ekonominya.
Produsen minyak juga bingung oleh dorongan Washington untuk membatasi harga minyak Rusia, yang bisa merusak pasar minyak dunia.
Di Washington, keputusan OPEC+ dan sikap Saudi inilah yang memicu tekanan bagi Biden untuk menghentikan penjualan senjata ke Riyadh.
Senator Bob Menendez mendesaknya untuk segera membekukan semua aspek kerja sama AS dengan Arab Saudi.
Gejolak semacam itu telah lama mengguncang hubungan AS-Saudi. Pada April 2020, Keith Johnson dan Robbie Gramer dari Foreign Policy mencatat hubungan sulit kedua negara ini.
Menurut mereka, ketegangan umumnya berpangkal pada urusan minyak dan keamanan. Ada kesenjangan lebar antara demokrasi liberal (AS) dan monarki agama konservatif (Saudi).
Penjualan drone ke Qatar akan mendukung kebijakan luar negeri dan tujuan keamanan nasional AS dengan membantu meningkatkan keamanan negara sahabat.
“Ini akan terus menjadi kekuatan penting bagi stabilitas politik dan kemajuan ekonomi di Timur Tengah,” kata Departemen Luar Negeridalam sebuah pernyataan.