News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengamat Tiongkok: Gerakan Pro Demokrasi di China Akan Meluas dan Terus Berlanjut

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Erik S
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muhammad Farid, dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden (kiri) bersama Ketua Forum Sinologi Indonesia Johanes Herlijanto (kanan) yang pakar mengajar kajian China di Universitas Pelita Harapan, Jakarta, di acara seminar “Anti Government Protest in China: A Threat to the Regime?” yang diselenggarakan oleh FSI di Jakarta, Senin 23 Januari 2023 

Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintahan bergaya otoritarian seperti yang berlangsung di China bukan model yang cocok bagi Indonesia . Alih-alih melakukan glorifikasi terhadap otoritarianisme, masyarakat Indonesia justru patut mensyukuri datangnya era kebebasan dan iklim demokrasi di negeri ini sejak dua setengah dasawarsa lalu hingga hari ini, dan mempertahankan atmosfer demokrasi ini sambil menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab.

Demikian disampaikan pengamat Tiongkok sekaligus Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto pada seminar "Anti Government Protest in China: A Threat to the Regime?”yang diselenggarakan FSI di Jakarta, Senin 23 Januari 2023.

Baca juga: Studi: Amerika Serikat Tidak Siap Melawan China

Seminar yang membahas munculnya fenomena gerakan antipemerintah di berbagai kota besar di China pada akhir November 2022 lalu tersebut menghadirkan Profesor Jie Chen, Ph.D, ahli ilmu politik dan Hubungan Internasional dari University of Western Australia, Perth, yang menyampaikan presentasinya secara live melalui video dari Perth.

Dalam uraiannya, Profesor Jie Chen mengatakan bahwa gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Kertas Putih (White Paper Movement) ini memiliki beberapa perbedaan utama dibandingkan gerakan-gerakan serupa yang terjadi di China sejak tahun 1990.

“Pertama, elemen-elemen dalam Gerakan Kertas Putih menantang legitimasi rezim Partai Komunis China (PKC) dan bangkitnya seorang ditaktor,” ujar guru besar yang beberapa tahun lalu menulis buku berjudul “ The Overseas Chinese Democracy Movement: Assessing China’s Only Open Political Opposition” tersebut.

“Selain itu, Gerakan Kertas Putih juga menandakan munculnya kebangkitan politik di kalangan masyarakat China generasi pasca 1990-an,” lanjutnya.

Profesor Chen juga mengatakan bahwa kebangkitan politik pada generasi di atas telah membuat banyak pihak terkejut.

Menurut Profesor Chen, Gerakan Kertas Putih itu terjadi tanpa adanya pengaruh dan dorongan dari gerakan demokrasi orang China seberang  lautan (overseas Chinese democracy movement).

Baca juga: Menlu Sergei Lavrov Beberkan Strategi Geopolitik Rusia, Dekati China dan Sebut Barat Diktator

Menurutnya, inspirasi internasional dari gerakan yang berawal dari protes anti lockdown tersebut justru datang dari tayangan  Piala Dunia di Qatar, yang memperlihatkan kehidupan  yang bebas dan bahagia tanpa lockdown ataupun masker.  

Yang terpenting, dalam pandangan Profesor Jie Chen adalah, munculnya gerakan protes pada November 2022 lalu menandai retaknya “kesepakatan besar pasca Tiananmen” antara masyarakat China dan rezim penguasa. Kesepakatan yang pada intinya merupakan penukaran hak politik rakyat dengan kemakmuran ekonomi itu nampaknya sedang menghadapi tantangan yang sangat penting.

Profesor Jie Chen memprediksi, protes serupa akan lebih banyak terjadi di sepanjang era pemerintahan Xi Jinping. “Ini akan sangat bergantung pada kemampuan kepemimpinan baru China. Dapatkah tim kepemimpinan (Komite Tetap Polibiro) yang baru, yang terdiri dari Xi dan para kroninya itu, mengatasi tantangan dan krisis yang dihadapi China, sehingga kesepakatan besar pasca Tiananmen dapat diperkuat kembali?” 

Menurutnya, krisis ekonomi yang diperparah antara lain oleh krisis demografik dan pengucilan China oleh Barat sebagai akibat “Perang Dingin  Baru” akan menjadi tantangan terbesar Xi dan para sekutunya dalam kepemimpinan China.

Ketua FSI yang juga mengajar kajian China di Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto mengatakan bahwa terjadinya Gerakan Kertas Putih di China pada November 2022 lalu sangat menarik dan penting untuk dicermati.

“Pertama, rangkaian peristiwa di atas memperlihatkan bahwa kondisi internal Republik Rakyat China (RRC)  ternyata masih dipenuhi berbagai permasalahan yang masih belum terselesaikan. Model pemerintahan otoriter PKC yang bersifat top-down dan mengandalkan pengawasan dan tekanan terhadap warga yang berbeda pendapat dengan penguasa ternyata bukan model yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat,” ujarnya.

Baca juga: Menlu Rusia Sergei Lavrov : Negara Barat Memilih Semakin Diktator

Menurut Johanes, berbagai pernyataan yang disuarakan dalam protes di atas memperlihatkan bahwa rakyat China masih memiliki daftar kebutuhan yang belum terpenuhi, termasuk kebutuhan akan kebebasan dan sistem pemerintahan yang tidak bersifat diktator.

“Stabilitas itu hanya membuktikan keras dan kuatnya pengawasan dan pembungkaman terhadap suara yang berbeda dari pemerintah,” tutur Johanes.

Namun, menurut Johanes, sebagaimana juga terlihat dari rangkaian protes pada Oktober dan November 2022 lalu, pengawasan dan pembungkaman ternyata tidak selamanya efektif. Sebaliknya, pengawasan dan pembungkaman itu malah menjadi salah satu sumber masalah yang melahirkan ketidakpuasan.

“Lagi pula, seberapa pun kuat dan ketatnya pengawasan dan pembatasan bersuara, rakyat Cina, khususnya generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi dan media sosial, dapat menemukan celah untuk menyampaikan suara meraka,” lanjutnya.

Johanes juga memprediksi, gerakan protes seperti yang terjadi pada November 2023 yang lalu masih akan terus berlanjut.

“Berkaca dari rangkaian protes di atas, tak berlebihan bila kita memprediksi bahwa The Great Firewall, atau dinding api besar yang dibangun rezim komunis Cina untuk membentengi dirinya, akan menghadapi tantangan berupa strategi dan inovasi yang akan terus digagas oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan,” pungkasnya.

Baca juga: Presiden Jokowi Prediksi Cina Akan Menjadi Negara yang Paling Banyak Investasi di Indonesia

Seminar ini juga menghadirkan pembicara Muhammad Farid, M.PA, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Presiden. Pemerhati China yang juga sekretaris FSI itu mengatakatan, isu yang dibawa Gerakan Kertas Putih sendiri telah bergeser dari isu keresahan terhadap kebijakan zero Covid-19, menjadi isu kebebasan berekspresi.

"Demonstrasi di akhir 2022 kemarin adalah yang terbesar kedua setelah demonstrasi di Lapangan Tiananmen tahun 1989," ujarnya.

Menurut Farid, sejauh apa demonstrasi itu merupakan ancaman terhadap eksistensi pemerintah China masih harus diteliti lebih lanjut.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini