TRIBUNNEWS.COM - Militer Sudan menganggap situasi di Sudan saat ini sebagai upaya kudeta oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
"Apa yang kami amati (di Sudan) hari ini adalah upaya kudeta dan perebutan kekuasaan (oleh RSF)," kata juru bicara Militer Sudan, pada Selasa (18/4/2023).
RSF mengatakan telah merebut istanan kepresidenan, kediaman panglima militer, bandara internasional Khartoum, dan bandara di kota Merowe dan Kota el-Obeid, pada Sabtu (15/4/2023).
Sebelumnya, RSF menuduh militer Sudan yang memulai perang dengan menyerang mereka pada Sabtu (15/4/2023), dikutip dari Al Arabiya.
RSF mengatakan, militer Sudan telah mengepung salah satu pangkalan RSF dan melepaskan tembakan dengan senjata berat.
RSF yang dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, kemudian memberikan perlawanan.
Baca juga: Dunia Hari Ini: Ratusan Orang di Sudan Tewas karena Konflik dengan Kelompok Paramiliter
Mereka menuduh militer Sudan telah bersimpati dan loyal pada mantan Presiden Omar Hassan al-Bashir yang digulingkan pada 2019 lalu.
Sementara itu, Militer Sudan mengatakan, RSF mencoba menyerang pasukannya di beberapa posisi setelah terdengar beberapa tembakan di sejumlah wilayah Sudan.
Bentrok RSF dan Militer Sudan
Bentrokan antara militer Sudan dan RSF terjadi karena perebutan kekuasaan antara dua faksi utama rezim militer Sudan.
Militer Sudan berada di bawah kepemimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, yang menjadi penguasa de facto Sudan.
Sementara itu, RSF merupakan kelompok milisi di bawah kepemimpinan mantan panglima perang, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti).
Perebutan kekuasaan ini berakar jauh sebelum kudeta terhadap mantan Presiden Omar al-Bashir, seperti diberitakan The Guardian.
Perseteruan antara Militer Sudan dan RSF mulai muncul ke permukaan pada Kamis (13/4/2023), ketika tuntutan sipil untuk integrasi RSF ke dalam militer Sudan.
Pada hari yang sama, militer Sudan mengatakan RSF telah memobilisasi pasukannya di Ibu Kota Khartoum dan kota-kota lain.
Pihak militer Sudan menilai hal ini merupakan pelanggaran hukum yang jelas.
Bentrokan terjadi di berbagai wilayah Sudan pada Sabtu (15/4/2023), terutama di Ibu Kota Khartoum.
Pertempuran antara militer Sudan dan RSF dimulai dengan serangan RSF di situs-situs utama pemerintah.
Pada Senin (17/4/2023), setidaknya 185 orang meninggal dunia akibat bentrokan itu.
Baca juga: Utusan PBB: 185 Orang Tewas dan 1.800 Lainnya Terluka dalam Perang Saudara di Sudan
Upaya Demokrasi yang Gagal
Setelah Omar al Bashir lengser karena kudeta tahun 2019, Sudan hendak kembali ke demokrasi.
Upaya demokrasi ini dilakukan oleh dua Jenderal yaitu al-Burhan dan Dagalo, selaku ketua dan wakil dewan penguasa.
Keduanya menyetujui perjanjian kerangka kerja dengan partai politik dan kelompok pro-demokrasi.
Terdapat poin-poin penting yang tidak jelas, yang disengketakan.
Poin itu termasuk bagaimana RSF akan diintegrasikan ke dalam militer Sudan dan siapa yang memegang kendali akhir, seperti disebutkan The Guardian.
Penandatanganan kesepakatan itu berulang kali ditunda, di tengah meningkatnya ketegangan hubungan Jenderal al-Burhan dan Hemedti.
Hingga bentrokan meletus antara militer Sudan dan RSF, rencana kembalinya demokrasi di Sudan, masih belum tercapai.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Perang Saudara di Sudan