TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia dan sejumlah negara ASEAN perlu berhati-hati menyikapi proyek Global Security Initiative atau Inisiatif Keamanan Global (GSI) yang digagas oleh Presiden China Xi Jinping.
Saran ini disampaikan Johanes Herlijanto, ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) pada acara seminar berjudul Global Security Initiative (GSI) Ala Xi Jinping: Pandangan dan Dampaknya bagi Asia Tenggara yang diselenggarakan di Jakarta, Sabtu 6 Mei 2023.
Seminar ini juga menghadirkan China asal Universitas Pelita Harapan Jakarta serta Sofwan Al Bana, Ph.D, pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Depok.
Bertindak sebagai moderator seminar ini adalah Muhammad Farid, M. PA., pemerhati Hubungan Internasional dari President University, Cikarang.
Sofwan Al Bana dalam makalahnya berjudul Renewing Global (Dis)order? Interpreting China's Global Initiatives memaparkan, China merancang GSI sebagai proyek keamanan global dengann dilandasi oleh beberapa prinsip utama.
Yaitu, memegang teguh visi keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan berkelanjutan; menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara; setia pada prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB); memperhatikan dengan serius concern keamanan yang sah dari semua negara; menyelesaikan perbedaan dan sengketa antar negara dengan damai melalui dialog dan konsultasi; dan berkomitmen menjaga keamanan tradisional maupun non-tradisional.
Sofwan berpendapat, GSI sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari sebuah skema atyau strategi internasional China yang telah dijalankan sejak 2010.
Kebangkitan China Tak Bisa Dihentikan
China yang dulu menyembunyikan kuku, kini merasa sudah kuat dan mulai menunjukan kuku dan taringnya, bukan untuk menakuti nakuti negara-negara di sekitarnya, tetapi untuk mencegah terjadinya perang.
China menyampaikan kepada Amerika Serikat sebagai status quo dunia bahwa kebangkitan China tidak terhentikan.
Baca juga: Indonesia Diminta Waspadai Gerakan China-Kamboja di Laut China Selatan
“Bukan berarti China ingin menghabisi kekuatan status quo, tetapi meminta agar ia memiliki ruang yang lebih besar dalam sistem internasional bagi kebangkitannya,” ujar Sofwan.
"Distribusi kekuatan internasional ini yang paling kelihatan terlihat adalah kekuatan militer dan kekuatan ekonomi. Kita saat ini menyaksikan perubahan distribusi kekuatan internasional seperti distribusi GDB China vs Amerika Serikat," ungkap Sofwan.
Untuk kekuatan militer, Sofwan menekankan, AS masih yang terbesar di dunia saat ini tapi China makin meningkatkan kapasitas militernya seperti membangun pangkalan militer baru di Samudera Hindia yang jadi jalur perdagangan penting, dan di Pasifik yang dulu di Perang Dunia II jadi penentu kekalahan Jepang.
Dari perspektif Global Security Initiatives, Sofwan mengatakan, China banyak mengeluarkan inisiatif security global seperti di 2023 Road and Belt.
Baca juga: Peneliti Ungkap Taktik Zona Abu-abu Tiongkok di Laut China Selatan dan Potensi Dampak Bagi Indonesia
"China banyak melakukan langkah-langkah terukur untuk menyampaikan pesan pesan ke komunitas internasional, itu dilakukan sejak 2016 kemudian di 2017 dan seterusnya," kata dia.
Strategi GSI oleh China ini harus dilihat sebagai satu kesatuan yang menawarkan penataan yang terkalibrasi yang tatanan saat ini dinilai tidak memberi ruang yang cukup bagi kebangkitan Tiongkok.
"Gambaran besarnya, China ingin menberi pesan sosial kepada status quo zaat ini yakni AS, bahwa hegemoni AS tidak bisa dipertahankan lagi dan kebangkitan Tiongkok tidak bisa dibendung."
Baca juga: China Diam-diam Dirikan Kantor Polisi Rahasia di Manhattan, Untuk Intimidasi Para Pembangkang di AS
"China tidak mendelegitimasi sistem dan tatanan internasional saat ini tapi tidak sempurna. China sering memgatakan Barat selalu munafik dan itu selalu diulang ulang oleh pejabat China," paparnya.
"China dalam inisatif ini ingin menegaskan bahwa kebangkitan China tidak menjadi ancaman bagi AS," lanjut Sofwan.
Menurutnya, Pasca perang dingin yang ditandai keruntuhan Uni Soviet, AS sebagai status quo dunia tidak menghendaki munculnya kekuatan baru seperti China lewat threshold. Namun China sendiri saat ini sudah melewati proses threshold ini.
"Sementara China terus berulang mendorong reformasi dan rejuvenasi atas lembaga-lembaga internasional seperti PBB."
Terkait bantuan-bantuan internasional oleh China ke sejumlah negara lain adalah untuk memberikan pesan kuat kepada kekuatan status quo jika China dibiarkan berkembang kuat akan menjadi sebuah responsible power.
"China menunjukkan sikap hipokrit di banyak kebijakan internasionalnya tapi hal ini harus dilihat sebagai strategi yang bersifat instrumental ketimbang problem moral," tegas Sofwan.
Johanes menyampaikan catatan tambahan dengan menekankan bahwa GSI juga menekankan penolakan RRC pada “mentalitas Perang Dingin,” unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme.
Namun menurut Johanes, prinsip-prinsip China di atas menuai kritik dan dianggap sekedar retorika oleh para pengamat kebijakan internasional Cina.
“Sebagai contoh, Dr. Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur pada Centre for Security, Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, India, menganggap China memperlihatkan kemunafikan karena mengajukan prinsip prinsip yang telah mereka langgar sendiri,” tutur Johanes.
“Rajagopalan merujuk pada konflik yang sering mewarnai sengketa perbatasan antara China dan India sebagai contoh dari tindakan China yang bertentangan dengan prinsip prinsip yang mereka gagas di atas,” lanjut Johanes.
“Contoh lain adalah gagasan menolak ‘mentalitas perang dingin’ dan konfrontasi blok, namun bersikap serupa dengan membangun kemitraan tanpa batas dengan Rusia dan upaya membangun pakta keamanan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik,” jelasnya.
Dalam pandangan Johanes, perilaku China di Laut China Selatan (LCS), bahkan di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna merupakan contoh relevan yang memperlihatkan kontradiksi antara gagasan indah GSI dengan prilaku nyata China.
Dalam penjelasannya, Johanes merujuk pada berbagai insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan China berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara tersebut dalam satu dasawarsa terakhir.
Filipina dan Vietnam merupakan negara yang wilayah ZEE nya seringkali dilanggar oleh kapal-kapal penjaga pantai China.
“Hal yang sama juga terjadi dengan Indonesia, yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS," ujar Johanes.
"Setidaknya sejak tahun 2010, China telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna,” tutur Johanes.
Menurut Johanes, tingkah laku China di atas menyebabkan berbagai kelompok masyarakat di negara-negara Asia Tenggara bersikap hati-hati dan waspada terhadap gagasan asal China tersebut.
Dia merujuk pada tulisan Hoang Thi Ha, peneliti dari ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, yang memperlihatkan minimnya dukungan masyarakat Asia Tenggara terhadap GSI.
“Dari 1308 responden yang turut serta dalam survey yang dilakukan Hoang Thi Ha dan para koleganya, hanya 27,4 persen merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia tenggara. 44,5 persen responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali,” jelasnya.
Ia juga menuturkan bahwa hanya 19 persen responden yang meyakini bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi Indonesia.
Senada dengan mayoritas responden survey yang dilakukan oleh lembaga think tank asal Singapura di atas, Johanes juga beranggapan bahwa GSI perlu disikapi dengan kewaspadaan. Ia pun mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang terkesan hati-hati dalam menanggapi inisiatif China tersebut.
“Indonesia hanya menyatakan memperhatikan keberadaan GSI dan siap untuk bekerja bersama pihak Cina dalam memastikan kedamaian dan stabilitas melalui dialog dan diplomasi," ujar Johanes.
"Pernyataan ini, menurut pakar hukum internasional Aristyo Rizka Darmawan, memperlihatkan bahwa Indonesia hanya secara prinsip setuju untuk bekerja bersama China dalam hal GSI sambil menunggu pihak China mengartikulasi dan mengelaborasi insiatif yang masih belum terlalu jelas itu,” lanjut Johanes.
Dalam penutup pemaparannya, Johanes mengingatkan, bahwa selama China masih sibuk membangun kehadiran militernya di perairan LCS, menerapkan operasi gray-zone di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara, termasuk di perairan dekat Kepulauan Natuna, serta membuat pengelompokan yang menyerupai blok aliansi seperti yang diupayakan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, maka retorika GSI—yang menekankan kedamaian, penghormatan kedaulatan, kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB, dan penolakan terhadap mentalitas perang dingin—akan tetap tinggal sebagai retorika yang sulit untuk memperoleh kepercayaan.