TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Luar Negeri Indonesia (Menlu RI) Retno Marsudi pada Jumat (7/7/2023), akhirnya angkat suara soal pertemuan informal ASEAN yang diinisiasi Thailand yang juga turut mengundang junta militer Myanmar.
Pertemuan itu dilakukan saat Indonesia tengah memegang keketuaan di ASEAN, dimana Thailand mengundang semua menteri luar negeri ASEAN, termasuk Indonesia.
Namun Indonesia absen pada pertemuan yang dilakukan di Pattaya, Thailand, Senin (19/6/2023) lalu.
Baca juga: PBB: ASEAN Harus Minta Pertanggungjawaban Junta Myanmar
Retno menegaskan bahwa itu adalah pertemuan informal, dan Menlu yang hadir hanya Menlu dari Laos.
"Dari ASEAN hanya Menlu Laos yang hadir dalam pertemuan informal meeting tersebut. Dan track yang diambil dalam pelaksanaan 5 PC (Point Consensus) tentu merupakan main track dalam selesaikan isu yang ada di Myanmar," kata Retno pada konferensi pers di kantor Kementerian Luar Negeri.
Ia juga menegaskan bahwa Indonesia dalam keketuaan ASEAN selama hampir 6,5 bulan, sudah banyak melakukan engagement atau pendekatan dengan para stakeholder yang ada di Myanmar.
Ada sekira 110 engagements telah dilakukan, baik berupa pertemuan in person, virtual, maupun melalui percakapan per telepon, termasuk engagements secara in person baik dengan Menlu NUG maupun Menlu SAC dalam beberapa kali .
Retno mengatakan Indonesia juga telah engagement kantor special envoy baik dengan Ethnic Resistance Organizations (EROs), wakil-wakil partai politik, dan CSO serta pihak-pihak lain di Myanmar.
Retno mengatakan pendekatan yang dilakukan Indonesia berdasarkan 5 PC yang menjadi kesepakatan di tingkat leaders ASEAN dan menjadi rujukan utama bagi ASEAN untuk menyelesaikan persoalan Myanmar.
"Dan di sela-sela antara pertemuan ASEAN antara summit misalnya, dengan AMM/PMC dan antara AMM PMC dengan persiapan summit yang akan datang, Indonesia sebagai chair telah dan akan terus melakukan komunikasi intensif dengan semua pihak, sekali lagi dengan semua pihak dalam rangka mengimplementasikan 5 PC. Karena 5PC adalah kesepakatan dari ASEAN, kesepakatan pada tingkat leaders, dan 5PC merupakan rujukan utama ASEAN dalam mencoba menyelesaikan situasi di Myanmar," ujarnya.
Menurutnya, engagements yang intensif dan inklusif penting untuk dilakukan dan menjadi kunci untuk membangun trust; mendengarkan posisi masing-masing pihak; mencoba membangun jembatan untuk mempersempit perbedaan; mendorong de-eskalasi kekerasan dan renouncing the use of force; mendorong dialog inklusif; serta mengajak semua pihak untuk membantu dan mendukung pemberian bantuan kemanusian dengan prinsip no-one left behind.
"Sekarang engagement is not for engagement only tapi engagement adalah pintu pembuka agar bisa melangkah kepada langkah selanjutnya dalam menyelesaikan masalah Myanmar," kata Retno.