Saat Kanselir Jerman dan Presiden Prancis Ghibah Soal Putin, Kaget Presiden Rusia Cuek Sanksi Barat
TRIBUNNEWS.COM - Kanselir Jerman Olaf Scholz terkejut pada ketidakacuhan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap sanksi Barat yang datang tak lama setelah pecahnya konflik di Ukraina.
Tabloid Jerman, Bild, dalam sebuah artikel pada Senin (28/8/2023), melansir isi percakapan antara Scholz dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang dituangkan oleh jurnalis Stephan Lamby dalam buku barunya ‘Emergency: Governing in Times of War’.
Percakapan tersebut, berisi obrolan dua pemimpin negara tersebut saat berinteraksi dengan Putin lewat telepon.
Baca juga: Kanselir Jerman: Kami Tak Akan Pernah Kirim Pasukan ke Ukraina, Tapi Terus Pasok Senjata
Percakapan keduanya dengan Putin disebutkan terjadi pada 4 Maret 2022 – hanya seminggu setelah Moskow mengirim pasukannya ke Ukraina.
"Situasinya “tidak menjadi lebih baik,” kata Scholz kepada Macron dalam percakapan itu.
“Ada sesuatu yang lebih mengganggu saya daripada perundingan tersebut: (Putin) tidak mengeluhkan sanksi sama sekali. Saya tidak tahu apakah dia melakukan itu dalam percakapan dengan Anda, tapi dia bahkan tidak menyebutkan sanksinya,” ujarnya ke Macron .
Pemimpin Prancis itu menjawab bahwa Putin juga tidak membahas masalah sanksi Barat selama berinteraksi lewat telepon dengannya.
Ketika diminta untuk mengomentari artikel Bild tersebut, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, mengonfirmasi kalau Presiden Putin memang tidak pernah membahas masalah sanksi selama kontaknya dengan para pemimpin negara yang menjatuhkan sanksi tersebut.
AS dan UE menjatuhkan sanksi ketat terhadap Moskow setelah pecahnya konflik di Ukraina, karena diperkirakan sanksi tersebut akan melumpuhkan perekonomian Rusia dan menghalangi negara tersebut untuk mendukung upaya militernya ke Ukraina.
Namun, langkah-langkah tersebut sejauh ini gagal mencapai hasil yang diinginkan.
Awal bulan ini, Peskov mengatakan Rusia telah sepenuhnya mengatasi kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh sanksi Barat dan memiliki prospek “baik” untuk pembangunan yang pesat.
Selama percakapan mereka, Scholz mengatakan kepada Macron kalau pemimpin Rusia tersebut telah menguraikan “gagasannya tentang cara menemukan kompromi. Dia berbicara tentang demiliterisasi, denazifikasi.”
"Putin telah meminta saya agar Krimea diakui sebagai bagian dari Rusia, dan Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk harus diakui sebagai negara merdeka," kata Kanselir Jerman itu dalam obrolannya dengan Macron soal Putin.
“Tidak ada hal baru, terus terang saja,” tambahnya.
Russia Today mengklaim, kedua republik tersebut resmi menjadi bagian dari negara Rusia bersama dengan Wilayah Zaporozhye dan Kherson pada musim gugur lalu sebagai hasil referendum yang diadakan di wilayah tersebut.
Kiev dan pendukungnya dari Barat menyebut referendum tersebut “palsu” dan tidak mengakui keduanya sebagai bagian dari Federasi Rusia.
Menurut kanselir Jerman, ia juga mengusulkan diadakannya pertemuan puncak dalam upaya mencari solusi terhadap krisis tersebut.
“Ketika saya bertanya kepadanya apakah mungkin ada pertemuan mengenai Ukraina, cepat atau lambat, dengan Anda, saya, [Presiden Ukraina Vladimir] Zelensky dan dengan dia – Putin – tidak sepenuhnya menolak,” kata Scholz.
Namun, Scholz menambahkan kalau presiden Rusia tersebut menetapkan dua syarat agar pertemuan puncak semacam itu bisa terlaksana.
"Hal ini menyatakan bahwa perundingan tidak boleh menjadi dasar gencatan senjata dan harus dilakukan tanpa partisipasi Zelensky," katanya.
Belum pernah ada pertemuan puncak seperti itu yang diselenggarakan, sementara percakapan telepon antara Putin dan para pemimpin Jerman dan Prancis juga terhenti dalam beberapa bulan terakhir.
Setelah mendengarkan Scholz, Macron menjawab: “Terima kasih, itu sangat mirip dengan percakapan saya dengan [Putin] kemarin. Saya pikir dia sekarang cukup bertekad untuk mencapai akhir.”
(oln/Bild/RT/*)