Mali Umumkan Hari Berkabung Nasional, Lebih 60 Orang Tewas dalam Serangan ke Kapal dan kamp Militer
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Mali, negara di Afrika Barat, mengumumkan tiga hari berkabung nasional untuk menghormati puluhan korban serangan yang diklaim dilakukan oleh kelompok terkait Al-Qaeda.
Pihak pemerintah Mali menyatakan, kelompok militan pemberontak negara tersebut menyerang sebuah pangkalan militer dan sebuah kapal penumpang di timur laut Mali pada Kamis (7/9/2023).
"Serangan itu menewaskan sedikitnya 64 orang, termasuk 49 warga sipil, dan melukai beberapa lainnya," kata keterangan juru bicara pemerintahan sementara negara Afrika Barat tersebut.
Baca juga: Serangan Mematikan di Mali, 49 Warga Sipil dan 15 Tentara Tewas
"Sekitar 50 tersangka pemberontak Islam juga tewas," pernyataan itu menambahkan.
Kementerian Luar Negeri Mali menyebut, serangan ke kamp Angkatan Bersenjata Mali (FAMas) di Bamba di Wilayah Gao menewaskan 15 tentara.
Jumlah korban tewas ini disebut masih bersifat sementara.
Para pemberontak dilaporkan juga menabrak sebuah kapal penumpang ketika sedang mengangkut warga sipil dari Gao ke Mopti melintasi Sungai Niger.
"Kedua serangan tersebut diklaim oleh “teroris dari Kelompok Dukungan untuk Islam dan Muslim,” sebuah kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda," kata kementerian tersebut.
"Sekitar 50 penyerang dibunuh oleh FAMas sebagai respons atas serangan ganda ini,” tambah pihak berwenang.
Atas jatuhnya puluhan korban jiwa dalam serangan terbaru ini, pihak berwenang di Bamako, ibu kota bekas jajahan Perancis, telah mengumumkan tiga hari berkabung secara nasional, mulai hari Jumat.
Sejak bulan lalu, milisi lokal, dikatakan telah mengorganisir blokade di sekitar kota Timbuktu di Mali, di wilayah di mana kapal sipil diserang, yang mengakibatkan hilangnya hampir 50 nyawa warga sipil.
Pembunuhan besar-besaran, pemerkosaan, dan penjarahan di desa-desa di timur laut Mali tahun ini, yang dilakukan oleh kelompok bersenjata, telah memaksa ribuan orang meninggalkan wilayah Menaka dan Gao, Human Rights Watch melaporkan pada bulan Juli.
Mali telah memerangi pemberontakan sejak tahun 2012, dengan dukungan besar dari tentara Perancis, yang terlibat pada tahun 2013 menyusul peningkatan kekerasan di bagian utara negara tersebut.
Namun, awal tahun lalu, pemerintah Bamako yang dipimpin militer meminta Prancis untuk menarik pasukannya “tanpa penundaan,” dan mengklaim bahwa keterlibatan militer Prancis di negara Sahel “tidak memuaskan.”
Otoritas militer juga memberi waktu kepada Misi Stabilisasi Terpadu Multidimensi PBB di Mali (MINUSMA) hingga tanggal 31 Desember untuk menarik 15.000 pasukan penjaga perdamaiannya.
Menurut para pejabat Mali, kehadiran PBB terus memperburuk ketegangan.