TRIBUNNEWS.COM - Seorang putra Raja Thailand, Vacharaesorn Vivacharawongse yang tinggal di New York memberi isyarat kepada publik untuk menolak hukum Lese Mejeste yang keras di Thailand.
Melalui akun Facebook pribadinya, Vacharaesorn Vivacharawongse mengatakan keyakinannya kepada publik bahwa diskusi terbuka tentang monarki negara itu harus diizinkan.
Tujuan putra Raja Thailand menuliskan pendapatnya adalah sebagai penolakan terhadap undang-undang anti-pencemaran nama baik kerajaan yang keras.
“Saya mencintai dan menghargai monarki, tapi saya yakin lebih baik mengetahui daripada tidak mengetahui," tulis putra Raja Thailand, dikutip dari The Guardian.
Menurutnya, setiap orang berhak mengungkapkan pendapatnya masing-masing.
"Setiap orang mempunyai pendapatnya masing-masing berdasarkan pengalamannya masing-masing. Tidak mendengarkan mereka tidak membuat sudut pandang atau pendapat mereka hilang,” lanjutnya.
Ia juga mengatakan, diskusi merupakan jalan yang baik untuk mengungkapkan pendapat masing-masing.
“Ini cerita lain apakah Anda setuju atau tidak setuju dengan mereka. Bicaralah satu sama lain dengan alasan," tutupnya.
Lese Majeste merupakan undang-undang yang membuat penghinaan terhadap raja, keluarga dekatnya, dan bupati mendapatkan hukuman hingga 15 tahun penjara untuk setiap pelanggarannya.
Undang-undang Lese Majeste merupakan aturan hukum yang paling keras di dunia.
Pasalnya, tidak ada batasan usia ketika seseorang memposting membagikan, atau menyukai postingan media sosial yang dianggap menyinggung monarki akan mendapatkan hukuman.
Undang-undang ini juga sangat kontroversial.
Bukan hanya karena hukumannya yang berat tetapi juga karena untuk siapapun, tidak hanya keluarga kerjaaan yang mengajukan pengaduan mengenai dugaan pelanggaran kepada Polisi.
Pada tahun 2015, seorang pria ditangkap berdasarkan hukum karena mengunggah komentar satir online tentang Tongdaeng.