TRIBUNNEWS.COM - Ribuan warga Armenia melarikan diri dari rumahnya di wilayah Nagorno-Karabakh karena takut dianiaya sebagai bentuk pembersihan etnis, Reuters melaporkan.
Amerika Serikat lantas meminta Azerbaijan untuk melindungi hak warga sipil dan menyiapkan misi kemanusiaan.
Warga etnis Armenia di Karabakh, wilayah Azerbaijan yang memisahkan diri sejak bubarnya Uni Soviet, mulai melarikan diri minggu ini setelah pasukan mereka dikalahkan oleh Azerbaijan.
Setidaknya 13.550 dari 120.000 etnis Armenia yang tinggal di Nagorno-Karabakh tiba di Armenia pada hari pertama eksodus.
Ratusan mobil dan bus yang penuh dengan barang-barang, mengular di jalan pegunungan meninggalkan Azerbaijan.
“Kami menyerukan Azerbaijan untuk mempertahankan gencatan senjata dan mengambil langkah nyata untuk melindungi hak-hak warga sipil di Nagorno-Karabakh,” kata kepala Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), Samantha Power, kepada wartawan di Yerevan, ibu kota Armenia.
Baca juga: Dunia Hari Ini: Ribuan Warga Etnis Armenia Mengungsi Karena Takut Dianaya
Samantha Power mengatakan operasi militer oleh Azerbaijan tidak dapat diterima.
Ia meminta Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev untuk memenuhi janjinya melindungi hak-hak etnis Armenia, membuka kembali koridor Lachin yang menghubungkan wilayah tersebut dengan Armenia dan mengizinkan pengiriman bantuan serta misi pemantauan internasional.
Aliyev telah berjanji menjamin keselamatan warga Armenia di Karabakh.
Namun ia mengatakan tangan besinya telah membuang gagasan kemerdekaan kawasan itu ke dalam sejarah.
Cerita warga yang ketakutan
Etnis Armenia yang berhasil sampai di Armenia menceritakan kisah-kisah mengerikan bagaimana mereka melarikan diri dari kematian, perang, dan kelaparan.
Beberapa orang mengatakan mereka melihat banyak warga sipil yang tewas, salah satunya mengatakan truk penuh.
Azerbaijan berkata mereka hanya menargetkan pasukan Karabakh.
Warga lainnya, beberapa di antaranya memiliki anak kecil, menangis ketika mereka harus lari dari perang, tidur di tanah, dan merasakan lapar yang bergejolak di perut mereka.
"Kami mengambil apa yang kami bisa ambil dan pergi. Kami tidak tahu ke mana kami akan pergi. Kami tidak punya tempat tujuan," kata Petya Grigoryan, seorang pengemudi berusia 69 tahun, kepada Reuters di kota perbatasan Goris pada hari Minggu.
Baca juga: Azerbaijan Kuasai Nagorno-Karabakh, Armenia Evakuasi Ribuan Warganya dari Sana
“Kami akan segera mengetahui lebih banyak tentang parahnya kondisi tersebut dan apa yang dialami orang-orang tersebut yang menyebabkan mereka meninggalkan Nagorno-Karabakh,” kata Power dari USAID.
Ketika warga Armenia bergegas meninggalkan ibu kota Karabakh, yang dinamai Stepanakert oleh Armenia dan Khankendi oleh Azerbaijan, stasiun-stasiun bahan bakar dibanjiri pembeli yang panic buying.
Pihak berwenang di sana mengatakan sedikitnya 20 orang tewas dan 290 orang terluka ketika fasilitas penyimpanan bahan bakar meledak pada hari Senin (25/9/2023).
“Para dokter dan staf medis di Stepanakert melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa korban luka dalam kondisi sulit dan sempit ini,” kata pihak berwenang Armenia setempat.
Tentang Karabakh
Dilansir Reuters, wilayah Karabakh diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan.
Tetapi secara de facto, Karabakh memisahkan diri pada tahun 1990an ketika Uni Soviet runtuh.
Wilayah itu kemudian sebagian besar dihuni etnis Armenia.
Memulihkan kendali atas Karabakh telah menjadi impian bagi Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev.
Dalam sebuah operasi militer yang dilancarkan Azerbaijan ke wilayah tersebut pada hari Selasa (19/9/2023), setidaknya 200 orang tewas di pihak Karabakh.
Baca juga: Etnis Armenia Tuntut Jaminan Keamanan sebelum Berikan Senjatanya kepada Azerbaijan
Aliyev mengatakan, beberapa warga Azerbaijan tewas sebagai "martir" dan tentara lainnya terluka, tanpa menyebutkan berapa jumlahnya.
Jatuhnya Karabakh ke tangan Azerbaijan adalah pil pahit bagi kelompok separatis dan bagi Armenia.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengakui dalam pidatonya bahwa rakyat Armenia mengalami “penderitaan fisik dan psikologis yang tak terkira”.
Namun dia mengatakan, untuk menjamin kelangsungan hidupnya, negaranya sangat membutuhkan perdamaian.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)