TRIBUNNEWS.COM - Kondisi di Gaza Palestina memprihatinkan. Korban jiwa dari kalangan sipil terus berjatuhan akibat serangan yang dilancarkan tanpa henti oleh Israel.
Hingga saat ini, 9500 orang tewas di Gaza akibat serangan Israel sejak 7 Oktober. Di antaranya 3.900 anak-anak dan 2.509 perempuan.
Jumlah tersebut memiliki potensi besar untuk terus bertambah jika gencatan senjata tidak dilakukan.
Karenanya, negara-negara Arab sekutu Amerika Serikan menaruh harapan agar segera dilakukan gencatan senjata menghentikan jatuhnya korban lebih banyak lagi di Gaza.
Namun, AS tidak sependapat berkait dengan upaya tersebut.
AS menegaskan bahwa gencatan senjata saat ini akan menguntungkan Hamas.
“Kami tak bisa menerima justifikasi dari hak membela diri menjadi alasan melakukan hukuman kolektif terhadap warga Palestina di Gaza,” kata Menlu Mesir Sameh Shoukry dikutip Kompas.tv dari Associated Press.
“Itu tak bisa sama sekali dilegitimasi sebagai pertahanan diri,” tambahnya.
Menlu Yordania Ayman Safadi mengatakan, negara Arab ingin gencatan senjata segera dilakukan.
“Seluruh wilayah ini tenggelam dalam lautan kebencian yang akan menentukan generasi yang akan datang,” ujarnya.
Namun, Blinken rupanya tak sependapat dengan koleganya dari negara-negara Arab.
“Dalam pandangan kami sekarang akan memudahkan Hamas untuk berkumpul lagi dan melakukan lagi apa yang terjadi pada 7 Oktober,” ujarnya.
Ia mengatakan, jeda kemanusiaan bisa menjadi hal penting dalam melindungi warga sipil, mendapatkan bantuan dan mengeluarkan warga asing, sambil tetap memungkinkan Israel mencapai tujuannya, yaitu mengalahkan Hamas.
Presiden Joe Biden pada Minggu (5/11/2023) sempat memberi sinyal menyetujui jeda perang demi kemanusiaan.
Namun, pernyataan Biden seperti tidak ada tindak lanjut berarti.
Perang di Gaza masih berkecamuk. Korban jiwa dari kalangan sipil terus berjatuhan.
Bahkan perang kian meluas menyusul militer Yaman mendeklarasikan ikut terlibat dalam perang yang dikobarkan Israel.