Ladang ini diperkirakan menampung 32 miliar meter kubik gas alam dan dilengkapi dengan ladang yang lebih kecil yang menampung sekitar tiga miliar meter kubik gas di dekat wilayah perairan Palestina dan Israel.
Ladang tersebut ditemukan oleh British Gas (BG) pada tahun 1999 setelah konsorsium energi itu diberikan izin beroperasi dengan kontrak selama 25 tahun di wilayah maritim Gaza oleh Otoritas Palestina (PA).
Lisensi ini memberikan perusahaan tidak hanya hak eksplorasi tetapi juga memberikan hak untuk mengembangkan ladang yang ditemukan dan memasang infrastruktur yang diperlukan.
Meskipun BG mengambil 90 persen saham dalam lisensi tersebut, 10 persen saham lainnya dibeli oleh Consolidated Contractors Company (CCC), sebuah raksasa konstruksi Timur Tengah.
Namun, proyek ini terperosok dalam kontroversi sejak awal.
Menurut sosiolog dan penulis AS Michael Herman Schwartz, saat itu Tel Aviv bersikeras kalau Israel harus mengontrol keuntungan PA dari gas, sehingga tidak digunakan "untuk teror."
“Dengan ini, Perjanjian Oslo secara resmi hancur,” tulis penulisnya.
Sementara itu, pada September 2000, pemimpin terkenal Palestina Yasser Arafat memuji Laut Gaza sebagai “hadiah dari Tuhan” kepada rakyat Palestina.
“Perairan Gaza akan memberikan landasan yang kokoh bagi perekonomian kita, untuk mendirikan negara merdeka dengan Yerusalem suci sebagai ibu kotanya," kata Yasser Arafat saat itu menjabarkan cita-cita untuk Palestina merdeka.
Perebutan Gaza
Pernyataan Arafat muncul pada saat dimulainya Intifada Kedua, yang meletus setelah gagalnya kesepakatan KTT Camp David antara Presiden AS Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak, dan ketua PA.
Sejak itu, konflik Israel-Palestina kembali memanas dan berlangsung sekitar lima tahun.
Eskalasi konflik mereda oleh KTT Sharm el-Sheikh tahun 2005 yang menyaksikan pemimpin baru PA Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon mengambil langkah tegas untuk de-eskalasi.
Pada tahun-tahun berikutnya, Jalur Gaza menyaksikan penarikan pasukan militer Israel pada tahun 2005, kebangkitan sayap politik Hamas, dan pengusiran Fatah (sayap utama dari PA) dari jalur tersebut pada tahun 2007.
Menanggapi pengambilalihan Gaza oleh Hamas, Mesir dan Israel melakukan tindakan balasan dengan blokade jalur yang menghancurkan perekonomian Palestina.