TRIBUNNEWS.COM - Isu gencatan senjata dibarengi kesepakatan pertukaran tahanan Hamas-Israel menjadi angin segar di tengah konflik yang berkecamuk di Gaza.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan perjanjian gencatan senjata dengan Israel meningkatkan harapan puluhan dari ratusan orang yang disandera sejak 7 Oktober, dapat dibebaskan.
Sejumlah sumber seperti dikutip beberapa media Israel menyebut 50 sampai 100 sandera sipil Israel akan dibebaskan, terutama perempuan dan anak-anak.
Sebagai imbalan 300 warga Palestina yang dipenjara, gencatan senjata lima hari, dan masuknya 300 truk bantuan ke Jalur Gaza.
Itamar Ben Gvir, politikus Otzma Yehudit, partai sayap kanan Israel, mengkritik rencana kesepakatan yang diupayakan Hamas dan Kabinet Perang Israel.
Ia memperingatkan kesepakatan macam itu bisa berujung bencana seperti yang pernah terjadi pada 2011.
Kala itu Israel membuat kesepakatan dengan Hamas untuk membebaskan seorang tentara Israel bernama Gilad Shalit.
Untuk membebaskan Shalit, Israel harus melepaskan 1.027 anggota Hamas.
Dua di antaranya adalah petinggi Hamas saat ini, yakni Husam Badran, yang menjabat juru bicara Hamas di Qatar, dan Yahya Sinwar yang memimpin Hamas di Jalur Gaza.
Sinwar dianggap sebagai dalang utama serangan mematikan di permukiman Israel pada 7 Oktober yang menewaskan 1200 orang dan sekitar 240 orang diculik.
“Anda ingat, kami melepaskan Gilad Shalit, kami melepaskan Sinwar dan teman-temannya dan membawa masalah kepada kami saat ini,” kata Ben Gvir seperti dikutip Times of Israel.
Kesepakatan yang diupayakan Kabinet Perang pimpinan Perdana Menteri israel Benyamin Netanyahu membuatnya kecewa. Sebab, ia tidak diberitahu perihal tetek bengek mengenai kesepakatan itu.
"Rumornya, Israel sekali lagi akan membuat kesalahan yang sangat besar dalam gaya kesepakatan Shalit," lanjut dia.
Pembebasan sandera