TRIBUNNEWS.COM -- Kegagalan demi kegagalan dalam medan perang dengan Rusia membuat kalangan pendukung Kyiv dari Barat terus berkurang.
Hal ini diakui oleh Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky dalam sebuah wawancara dengan Fox News.
Saat dimintai komentarnya mengenai keyakinannya bahwa serangan balik Ukraina dirasakan di luar negeri, pemimpin tersebut mengakui bahwa “ini bukanlah pesan yang baik” dan “ini sulit bagi kami.” Namun, dia bersikeras bahwa penduduk Ukraina “tetap kuat.”
Zelensky melanjutkan dengan menekankan bahwa keberhasilan militer adalah hal yang paling penting bagi Ukraina sendiri, dibandingkan pendukung asingnya, dan mengkritik gagasan bahwa konflik dengan Moskow adalah sebuah “film” atau “keajaiban setiap hari.”
Baca juga: Ukraina Sulit Kalahkan Rusia, Zelensky Akui Sekutu Patah Semangat
Pemimpin Ukraina itu juga menyatakan bahwa dia siap untuk duduk bersama Donald Trump untuk membahas rencana mantan presiden AS tersebut untuk mengakhiri permusuhan.
Trump telah berulang kali menyatakan bahwa ia hanya memerlukan waktu 24 jam untuk menyelesaikan konflik tersebut jika terpilih kembali pada tahun 2024.
Namun, Trump baru-baru ini menolak undangan Zelensky untuk mengunjungi Ukraina, dengan merujuk pada potensi “konflik kepentingan” mengingat kebijakan luar negeri AS saat ini ditentukan oleh pemerintah Joe Biden.
“Dia bisa membagikannya [rencana perdamaian] dengan saya. Ya, kita bisa menghentikan perang ini jika kita memberikan Donbass dan Krimea kepada Rusia. Menurut saya, negara kita tidak akan siap untuk rencana perdamaian seperti itu,” kata Zelensky.
Krimea dengan suara mayoritas memilih untuk bergabung dengan Rusia dalam referendum pada tahun 2014 setelah kudeta yang didukung Barat di Kiev, sementara empat wilayah bekas Ukraina memilih untuk mengikutinya pada musim gugur tahun 2022.
Ukraina melancarkan serangan balasan yang banyak digembar-gemborkan pada awal Juni, namun gagal mencapai kemajuan signifikan meski diperkuat dengan sejumlah besar persenjataan NATO.
Baca juga: Update Perang Rusia-Ukraina Hari Ke-637, AS Was-was Iran Senjatai Putin dengan Rudal Balistik
Pada hari Selasa, Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoigu mengatakan Kiev menderita kerugian “sangat besar” pada bulan November, dan memperkirakan jumlah mereka lebih dari 13.700 tentara.
Angka tersebut menambah jumlah yang diberikan Shoigu bulan lalu, ketika ia mengklaim Kiev telah kehilangan lebih dari 90.000 tentara sejak awal serangannya.
Awal bulan ini, komandan tertinggi militer Ukraina, Valery Zaluzhny, menggambarkan situasi medan perang sebagai “jalan buntu,” sebuah penilaian yang ditolak Zelensky.
Di tengah latar belakang ini, NBC baru-baru ini melaporkan bahwa para pejabat Barat sedang melakukan pembicaraan dengan Kiev untuk melihat apakah mereka akan mempertimbangkan konsesi kepada Rusia untuk mengakhiri konflik.
Menurut stasiun televisi tersebut, beberapa pendukung Ukraina semakin khawatir bahwa mereka “kehabisan pasukan.”
Meskipun Rusia tetap membuka pintu untuk melakukan pembicaraan dengan Kiev, para pejabat Ukraina secara konsisten menolak keterlibatan diplomatik apa pun. Kepala keamanan Ukraina Aleksey Danilov pada hari Senin bersikeras bahwa negaranya bermaksud untuk “berjuang sampai akhir.”
Panglima Perang Pesimis Juga
Perang kata-kata di media Barat pun menggambarkan betapa Presiden Volodymyr Zelensky dengan panglima angkatan bersenjata Ukraina, Jenderal Valery Zaluzhny tidak kompak lagi.
Mereka bahkan terlihat saling menyerang di media.
Berawal dari sebuah pernyataan Zaluzhny di The Economist bahwa konflik dengan Rusia telah menemui jalan buntu.
Zaluzhny menambahkan bahwa Rusia pada akhirnya akan menang karena populasinya yang lebih besar dan sumber daya yang lebih besar.
Zelensky langsung mencak-mencak dan menganggap pernyataan Zaluzhny tersebut sebagai kesalahan besar.
Ia menganggap kalau bos militer negaranya itu telah memasuki ranah politik.
Zelensky menyindir dengan sinis mengatakan “jika seorang militer memutuskan untuk berpolitik, itu adalah haknya, maka dia harus terjun ke dunia politik dan kemudian dia tidak bisa menghadapi perang.”
Mantan pelawak itu pun menyebut jika seorang pimpinan militer berpolitik makan dia sebaiknya meninggalkan dunia militer.
"Anda berperilaku sebagai politisi dan bukan sebagai orang militer, dan saya pikir itu adalah kesalahan besar,” tambah Zelensky.
“Dengan segala hormat kepada Jenderal Zaluzhny dan semua komandan yang berada di medan perang, terdapat pemahaman mutlak mengenai hierarki dan hanya itu, dan tidak boleh ada dua, tiga, empat, lima [pemimpin],” Zelensky mengatakan kepada tabloid Inggris tersebut.
Sesuai dengan hukum dan di masa perang, lanjutnya, hal ini bahkan tidak bisa dibicarakan. Itu tidak mengarah pada persatuan bangsa.”
Sebelum wawancara Zaluzhny dengan The Economist, sebuah laporan di The Times menyatakan bahwa Zaluzhny telah mendesak Zelensky untuk membatalkan serangan balasan musim panas Ukraina terhadap pasukan Rusia, namun Zelensky menolaknya.
Militer Ukraina akhirnya kehilangan lebih dari 90.000 tentara selama serangan Juni-Oktober dan 13.700 tentara lainnya sepanjang bulan ini, menurut angka terbaru dari Kementerian Pertahanan Rusia.
“Ada konflik antara presiden dan militer,” kata mantan penasihat Zelensky, Aleksey Arestovich, kepada surat kabar Spanyol El Mundo awal bulan ini.
“Panglima mengatakan satu hal tentang perang dan prospek kemenangan, sedangkan presiden mengatakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Ini bukan situasi normal.”
Arestovich telah beberapa kali mendesak Zelensky untuk mengadakan pemilu tahun depan, dan telah mengisyaratkan bahwa ia akan mencalonkan diri sebagai presiden jika pemungutan suara diadakan.
Namun, Zaluzhny adalah tokoh populer di Ukraina, dan Arestovich mengatakan bahwa sang jenderal bisa muncul sebagai “satu-satunya” penantang Zelensky.
Saat ditanya menenai engan para komandannya, presiden mengatakan para jenderal yang terjun ke dunia politik melakukan kesalahan.
Dia juga memperingatkan para petinggi berisiko tidak ditaati oleh tentara mereka jika mereka mengambil sikap politik.