Laporan Dahlan Dahi, wartawan Tribun Network, dari Moskow, Rusia
TRIBUNNEWS.COM - Belasan meter dari tembok Kremlin warna merah, tempat Presiden Rusia Vladimir Putin berkantor.
Di sebuah basement parkir Zaryadye Concert Hall, berlangsung fashion show.
Model-model Rusia yang muda belia menampilkan rancangan busana maha karya bangsa Rusia.
Itu merupakan salah satu rangkaian acara setelah pembukaan Brics+ Fashion Summit 2023, Selasa (28/12/2023).
Peserta yang datang dua kali lipat melebihi ekspektasi pemerintah Moskow sebagai penyelenggara. Rupanya, lebih 60 negara yang berpartisipasi.
Bagi Rusia, yang sedang berperang melawan Amerika Serikat (AS) dan sebagian negara Eropa di Ukraina, kehadiran peserta yang membludak itu tentu saja bermakna penting.
Pada pidato terpisah, kemarin, Putin mengatakan, seperti dikutip kantor berita Tass:
"Secara prinsip, Barat tidak ingin (melihat) negara besar dan multinasional seperti Rusia. Keberagaman budaya, tradisi, bahasa, dan etnis (Rusia) tidak cocok dengan logika Barat yang rasis dan kolonialis..."
Narasi itu terus dibangun Putin. Sangat terasa ketika panitia Brics+ Fashion Summit mengelola acara.
Terdapat diskusi dan fashion show yang menampilkan karya-karya adi busana dari Afrika, Asia (termasuk Indonesia), Amerika Latin, dan Timur Tengah, serta tentu saja Rusia.
Panitia juga mengemas acara "cultural program" dengan mengelola kunjungan ke museum, galeri, dan tempat-tempat bersejarah Rusia.
Baca juga: Tekad Rusia Mengurangi Dominasi Amerika Serikat dan Eropa, Fashion Show di Tengah Perang
Putin mengungkit lagi Russophobia, perasaan kebencian pada Rusia. Perasaan kebencian serupa muncul dalam perang Israel-Hamas. Atau dalam kasus "terorisme".
"Saat ini," kata Putin, "Russophobia, bentuk lain dari rasisme dan neo-Nazism, telah secara praktis menjadi ideologi resmi dari elit penguasa (negara-negara) Barat".
Betapapun meriahnya, acara Brics+ Fashion Summit tidak mendapatkan liputan yang memadai dari media Barat.
Ini tentu berbeda dari New York Fashion Week atau Paris Fashion Week.
Liputan perang Rusia-Ukraina pun mulai pelan-pelan tenggelam oleh perang Israel-Hamas.
Sama sekali tidak berarti bahwa perang sudah selesai.
Tass, misalnya, melaporkan, Rusia menghancurkan pusat latihan drone dan tiga stasiun radar Ukraina.
Sementara, beberapa hari sebelumnya, drone Ukraina berhasil masuk ke wilayah Moskow, namun dihancurkan sebelum mengenai sasaran.
Kehidupan sehari-hari di Moskow pun seperti tidak ada perang. Normal seperti biasa.
Kesibukan aparat pemerintah terlihat di jalan-jalan membersihkan salju. Moskow memasuki musim dingin.
Di medan perang Ukraina, AS dan Eropa tampaknya gagal meski mempersenjatai Ukraina untuk melakukan serangan balasan.
Hari Rabu ini, para menteri luar negeri NATO berkumpul di Brusel, Belgia.
"Kami, tentu saja, akan mendiskusikan situasi di Ukraina," kata Sekjen NATO, Jens Stoltenberg, dikutip Tass.
"Kami melihat pertempuran sengit di garis depan dan kami telah melihat gelombang serangan drone menyerang kota-kota di Ukraina dan kami ingin bersiap menghadapi lebih banyak pertempuran dan serangan misil terhadap Ukraina. Ini bahkan membuat lebih penting lagi untuk terus mendukung Ukraina," katanya.
Perang Rusia-Ukraina telah berlangsung sejak Februari 2022. Ini semacam perang eksistensi bagi Rusia, salah satu pemegang hak veto PBB.
Lewat Brics+, Rusia menggalang aliansi dengan China, India, Brasil, dan Afrika Selatan.
Brics mewakili 27 persen tanah dunia, 42 persen dari populasi dunia.
Brics menjadi menarik karena Brasil, Rusia, India, dan China adalah negara-negara yang masuk 10 terbesar dunia dalam hal populasi, luas wilayah, dan GDP.
Brics --seperti NATO-- terus memperluas keanggotaan.
Per 1 Januari 2024, Argentina, Ethiopia, Iran, Saudi Arabia, Mesir, dan Uni Emirat Arab akan menjadi anggota penuh. Namanya menjadi Brics+.
Indonesia, yang menganut politik bebas aktif, belum menyatakan ikut.
Kerja sama antaranggota Brics memiliki cakupan sangat luas, mulai dari kerja sama investasi, mata uang --dan bahkan budaya.
*
FASHION show di basement Zaryadye Concert Hall memperlihatkan karya busana Rusia.
Para wartawan dari berbagai negara yang diundang panitia antusias mengabadikan momen tersebut.
Sehari-hari, basement tersebut adalah tempat parkir. Panitia menyulapnya jadi ajang fashion show.
Peragaan busana serupa juga akan menampilan karya-karya desainer dari Afrika, Turki, Indonesia, Amerika Latin, dan Timur Tengah.
Ini memperlihatkan indahnya keberagaman global. Dunia yang warna-warni.
Pada sesi diskusi, Priscillla Chigariro dari Afrika menekankan pentingnya desainer lokal fokus kepada kultur lokal untuk menghadapi serbuan merek global yang kuat.
"Fokus kepada keahlian kita, budaya lokal," katanya.
Setiap karya busana, juga brand, memiliki story atau narasi. Narasi lokal memperkuat brand lokal.
"Have your story with your brand," tegasnya.
Narasi brand itu bisa mencakup proses pembuatan, bahan, bahkan suara yang diwakili.
Jay Ishak dari Malaysia mewakili suara Asia. Ia juga menekankan pentingnya "local story" untuk menghadapi gempuran brand global.
"Budaya lokal adalah keahlian kita," kata Jay kepada Tribunnews.com usai acara.
Brand global harganya selalu mahal, sulit dijangkau sebagian besar orang di Afrika, Asia, Amerika Latin, dan Timur Tengah. Di ceruk pasar itulah brand lokal memiliki ruang yang besar.
Di main hall, diskusi juga berlangsung dengan tema yang sama. Panitia menghadirkan pemerintah Moskow dan Rusia sebagai pembicara.
Di barisan pembicara ada wakil dari China, yang diberi kesempatan pertama berbicara.
Generasi muda China yang lahir tahun 1990-an dan tahujn 2000-an, katanya, paling terbuka dengan karya-karya fashion. Mereka lebih berani melawan kemapanan.
Pembicara dari Italia, satu-satunya pembicara dari Eropa yang saya lihat, mengungkapkan, ia penggemar karya desainer Rusia.
"Fashion tidak mengenal batas negara," katanya. Fashion has no border.
"Saya tidak membeli brand mahal," ia menambahkan.
"Saya membeli pakaian, yang --ketika dikenakan-- saya berteriak, wow, I love my self".*