TRIBUNNEWS.com - Mantan Menteri Luar Negeri yang juga calon presiden Amerika Serikat (AS), Hillary Clinton, mendesak Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk mundur dari jabatannya.
Clinton menyebut Netanyahu "benar-benar harus mundur" karena penangannya terhadap perang Israel di Gaza.
Menurutnya, Netanyahu adalah pemimpin yang tidak bisa dipercaya karena serangan 7 Oktober 2023, terjadi di bawah kepemimpinannya.
"Netanyahu harus pergi. Dia bukan pemimpin yang bisa dipercaya. Di bawah pengawasannya serangan (7 Oktober) terjadi," kata Clinton kepada MSNBC, dikutip AlJazeera.
Tak hanya itu, Clinton juga beranggapan Netanyahu sebagai penghalang gencatan senjata antara militer Israel dan pejuang militan di Palestina.
"Dia harus pergi, dan dia menjadi penghalang bagi gencatan senjata."
"Jika dia menjadi penghalang untuk mengeksplorasi apa yang harus dilakukan pada hari berikutnya, dia benar-benar harus mundur," urai dia.
Saat disinggung tentang hubungan Presiden AS, Joe Biden, dengan Netanyahu, Clinton menjawab, "Jelas bahwa Biden melakukan segala yang dia bisa untuk mempengaruhi Netanyahu."
Diketahui, Netanyahu resmi menolak proposal gencatan senjata yang diajukan Hamas.
Pada Rabu (7/2/2024), Netanyahu menyebut proposal gencatan senjata Hamas sebagai "delusi".
Ia juga memperbarui janjinya untuk menumpas Hamas dari Gaza.
Baca juga: Setop Dukungannya ke Israel, Spanyol-Belgia Tangguhkan Ekspor Senjata dan Amunisi
Pria yang akrab disapa Bibi ini mengatakan tidak ada alternatif lain bagi Israel selain melawan Hamas.
"Sehari setelahnya adalah hari setelah Hamas, seluruh Hamas," ujar dia dalam konferensi pers, dikutip dari Reuters.
Netanyahu juga menegaskan, kemenangan total melawan Hamas adalah satu-satunya solusi atas perang di Gaza yang telah berlangsung selama empat bulan.
"Tekanan militer yang berkelanjutan merupakan syarat yang diperlukan untuk pembebasan para sandera," kata dia.
Hamas Ajukan 3 Fase Gencatan Senjata
Sebelumnya, Hamas mengajukan tiga fase selama gencatan senjata dalam proposalnya.
Hal ini telah dikonfirmasi oleh pejabat senior Hamas, Muhammad Nazzal.
Dikutip dari CNN, fase tahap pertama adalah mencakup pembebasan sandera Israel.
Sandera tersebut termasuk perempuan dan anak-anak (di bawah 19 tahun) "yang tidak terdaftar, serta orang tua dan orang sakit, dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina," kata Hamas.
Fase pertama juga mencakup "mengintensifkan bantuan kemanusiaan, merelokasi pasukan di luar daerah berpenduduk, memungkinkan dimulainya pekerjaan rekonstruksi rumah sakit, rumah dan fasilitas di seluruh Jalur Gaza.
Hamas juga menambahkan agar "memungkinkan PBB dan badan-badannya memberikan layanan kemanusiaan dan mendirikan kamp perumahan bagi penduduk."
Tak hanya itu, Hamas juga meminta "penghentian sementara operasi militer dan pengintaian udara, dan penarikan pasukan Israel dari daerah berpenduduk di Jalur Gaza, agar sejajar dengan garis pemisah, guna memfasilitasi pertukaran tahanan."
Baca juga: Anggota IDF Bela Warga Palestina, Tak Heran Jika Benci Israel, Ngaku Syok Lihat Korban Tewas di Gaza
Fase kedua adalah "penyelesaian perundingan (tidak langsung) mengenai persyaratan yang diperlukan untuk kelanjutan penghentian operasi militer dan kembalinya keadaan tenang sepenuhnya."
Fase ini bertujuan untuk membebaskan semua sandera laki-laki yang ditahan di Gaza "dengan imbalan sejumlah tahanan Palestina."
Hamas juga meminta agar "langkah-langkah kemanusiaan pada fase pertama dilanjutkan, penarikan pasukan Israel di luar perbatasan seluruh wilayah Gaza, dan rekonstruksi menyeluruh terhadap rumah, fasilitas, dan infrastruktur yang hancur."
Lalu, fase ketiga atau yang terakhir, bertujuan "untuk pertukaran jenazah kedua belah pihak setelah mereka tiba dan diidentifikasi."
Tak hanya itu, Hamas juga meminta agar bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi terus berlanjut.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)