Perang Gaza Seret Israel ke Krisis Ekonomi, Begini Reaksi Panik Netanyahu dan Pentolan Keuangan Tel Aviv
TRIBUNNEWS.COM - Perang Gaza dalam dalih upaya Israel memberantas gerakan perlawanan Palestina, Hamas, secara nyata menyeret Tel Aviv ke dalam krisis ekonomi.
Lembaga pemeringkat kelayakan kredit asal Amerika Serikat (AS), Moody's, Jumat pekan lalu bahkan menurunkan peringkat Israel dari A1 menjadi A2.
Publik negara pendudukan itu bereaksi negatif penuh kritik dan kecaman.
Surat kabar Israel, Haaretz dalam editorialnya bahkan mengatakan kepercayaan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Keuangannya Bezalel Smotrich "mendekati nol".
Baca juga: Habiskan Rp 915 T di Gaza Lawan Hamas, Israel Malah Bikin Brigade Jenin Makin Galak di Tepi Barat
Peringkat Israel dari A1 ke A2, Apa Artinya?
Moody's merupakan satu di antara lembaga pemeringkat dunia yang sering dijadikan standar dan dorongan bagi sebuah negara untuk mereformasi kebijakan, memperbaiki fiskal, dan moneter.
Secara sederhana, lembaga ini mengukur kemampuan bayar sebuah perusahaan atau negara terhadap utang-utangnya.
Fungsi utama lembaga pemeringkat ini adalah memberikan rekomendasi ke para investor dalam bentuk rating.
Moody's menerbitkan peringkat atas utang jangka pendek dan jangka panjang, mencakup kekuatan ekonomi (GDP per kapita), kekuatan institusional, kekuatan finansial pemerintah, serta kerentanan terhadap event yang menuai risiko dan beban utang.
Peringkat tertinggi dalam pemeringkatan Moody's adalah Aaa, dilanjutkan dengan Aa1, Aa2, dan Aa3 yang mengindikasikan obligasi berkualitas terbaik dengan risiko yang sangat kecil.
Di bawah kategori ini, ada peringkat A1, A2, A3 yang berarti obligasi level menengah dengan risiko kecil.
Peringkat paling rendah adalah C, obligasi sangat buruk dan cenderung gagal bayar.
Pemeringkatan ini penting sebagai pertimbangan dalam menanamkan modal ke sebuah negara.
Jika rating semakin menurun, artinya kepercayaan kepada bank semakin buruk. Hal ini menyebabkan para peminjam modal enggan menyalurkan dana lebih besar ke pembuat obligasi.
Kepercayaan ke Netanyahu dan Kabinetnya Mendekati Nol
Penurun peringkat Israel dari posisi A1 ke tngkat yang lebih rendah ini pertama kalinya sejak 1998,tahun di mana pemeringkatan dimulai.
Haaretz menekankan, penurunan peringkat Israel ini sebagai sesuatu yang nyata atas kondisi perekonomian Israel imbas perang.
Dalam editorialnya, surat kabar itu menyalahkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai sosok utama yang harus bertanggung jawab atas kemunduran ini.
Editorial berjudul "Netanyahu Menurunkan Peringkat Kredit Israel, tapi Tidak Bertanggung Jawab," itu menggambarkan, "semua penilaian suram (terhadap ekonomi Israel) menjadi kenyataan".
Tulisan itu bahkan menyebut momen menurunnya peringat Israel ini sebagai "hari kelam".
Surat kabar tersebut mencatat, penurunan peringkat tersebut "tidak bersifat sementara", dan menambahkan kalau Moody's meyakini dampak perang terhadap perekonomian Israel akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada kemungkinan penyesuaian peringkat ke atas dalam waktu dekat.
Haaretz menuduh kepemimpinan Israel gagal mengembalikan perekonomian ke jalurnya, dan menekankan kalau kepercayaan terhadap Netanyahu dan Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich “mendekati nol”.
Lebih lanjut disebutkan, Moody's tidak percaya kalau Netanyahu dan Smotrich “akan memperbaiki apa yang telah mereka rusak,”.
"Bahwa lembaga tersebut mengeluarkan laporan yang begitu serius dan mengumumkan keputusan dramatis ini karena alasan khusus ini (rusak gegara tak cakapnya Netanyahu dan Smotrich)," tulis ulasan tersebut.
Reaksi Panik
Pernyataan Netanyahu dan anggota kabinetnya atas pemeringkatan terbaru Moody's ini juga menjadi sorotan.
Sejumlah pihak menilai, secara jelas adanya kepanikan di tubuh pemerintahan atas situasi ekonomi Israel saat ini.
Reaksi panik itu, misalnya tergambar dari pernyataan Menkeu Israel, Smotrich yang mengklaim keputusan Moody's adalah "manifesto politik yang didasarkan pada pandangan dunia geopolitik, pesimistis, dan tidak masuk akal."
“Ekonom tahun 75-76 di New York memberikan penurunan peringkat mengenai apakah kami menyetujui gencatan senjata atau tidak, [dan apakah] kami bersedia mendirikan negara Palestina atau tidak, dan memutuskan untuk menurunkan peringkat kami karena, sejauh ini, kami telah melakukan hal yang sama. tidak melakukannya,” paparnya menegaskan kalau penilaian Moody's cenderung berbau politis.
Pernyataan senada juga dikeluarkan Netanyahu yang menegaskan kalau perekonomian negaranya tetap kuat.
Netanyahu cenderung meremehkan penurunan peringkat Israel oleh Moody's dan mengklaim penurunan peringkat kredit tidak ada hubungannya dengan anggaran yang buruk, defisit, atau kegagalan manajemen pribadinya, melainkan akibat perang.
“Perekonomian Israel kuat. Penurunan peringkat tidak ada hubungannya dengan perekonomian, hal ini sepenuhnya disebabkan oleh fakta bahwa kami sedang dalam perang,” kata Netanyahu pada Sabtu (10/2/2024).
Netanyahu, menambahkan, “Peringkat akan kembali naik saat kami menang perang — dan kami akan memenangkan perang."
Rasio Utang Terhadap PDB Israel Capai Puncaknya pada 2025
Gubernur Bank of Israel, Amir Yaron pada Minggu juga menyatakan, perekonomian negaranya kuat dan akan pulih dari dampak perang.
Meski begitu, dia mendesak pemerintah Israel untuk mengatasi masalah yang diangkat oleh Moody's setelah badan tersebut menurunkan peringkat kredit negara Israel.
"Untuk meningkatkan kepercayaan pasar dan perusahaan pemeringkat di Israel, penting bagi pemerintah dan Knesset untuk mengatasi masalah ekonomi yang diangkat dalam laporan tersebut,” kata Yaron.
“Kami tahu bagaimana memulihkan masa-masa sulit di masa lalu dan dengan cepat kembali ke kemakmuran, dan perekonomian Israel memiliki kekuatan untuk memastikan bahwa hal yang sama akan terjadi saat ini juga,” katanya.
Yaron, sejak serangan Banjir Al Aqsa Hamas pada 7 Oktober, telah mendesak pemerintah untuk menjaga disiplin fiskal dan memangkas pengeluaran untuk barang-barang yang tidak terkait dengan perang pembalasan Israel terhadap kelompok tersebut di Gaza.
Sejak memangkas peringkat Israel pada Jumat pekan lalu, Moody's diketahui tetap melabeli prospek kredit Israel pada kategori negatif, yang berarti penurunan peringkat lebih lanjut terhadap Israel potensial akan terus terjadi.
Moody's mengutip risiko politik dan fiskal yang signifikan dari perang tersebut, dan menambahkan bahwa "defisit anggaran Israel akan jauh lebih besar dari perkiraan sebelum konflik."
Penurunan peringkat tersebut, jika berkepanjangan atau mengarah pada tindakan serupa lebih lanjut, akan meningkatkan biaya pinjaman bagi Israel dan dapat menyebabkan pemotongan anggaran dan kenaikan pajak untuk menjaga agar defisit anggaran tidak terkendali.
Rasio utang terhadap PDB Israel, kata Moody's, tampaknya akan mencapai puncaknya pada 67 persen pada tahun 2025, dibandingkan 62,1 persen pada tahun 2023.
"Namun, rasio tersebut jauh lebih tinggi di masa lalu selama periode krisis ekonomi bagi Israel, tetapi tidak pernah ada penundaan dalam pembayaran utang pemerintah,” kata Yaron.
Bulan lalu, S&P Ratings, lembaga sejenis Moody's, mengatakan ke Reuters bahwa pihaknya bisa menurunkan peringkat kredit Israel jika perang dengan Hamas meluas ke bidang lain.
Anggota parlemen Israel pekan lalu memberikan persetujuan awal terhadap revisi anggaran negara tahun 2024 yang menambahkan puluhan miliar syikal untuk membiayai perang dan memberi kompensasi kepada mereka yang terkena dampak.
Atas hal itu, peningkatan defisit anggaran tahun ini menjadi 6,6 persen PDB dari 2,25%.
Gambaran Krisis yang Bakal Dihadapi Israel
Dalam konteks yang sama, Haaretz menjelaskan, elemen paling spesifik bagi lembaga pemeringkat kredit adalah anggaran pemerintah.
Ulasan menekankan, kalau pemeringkatan Moody's khawatir kalau tren penurunan rasio utang terhadap PDB telah berbalik dan mulai meningkat.
Surat kabar tersebut mengaitkan peningkatan ini dengan anggaran 'sewenang-wenang' yang diajukan oleh Netanyahu dan Smotrich untuk tahun 2024, yang menciptakan defisit besar dan berbahaya karena kurangnya pemotongan yang diperlukan.
Mereka juga memperingatkan, pemeringkatan baru ini memerlukan biaya yang besar, karena suku bunga akan naik, yang berarti pendanaan utang publik, investasi, dan layanan bagi pemukim akan menjadi lebih mahal.
Menurut surat kabar Israel, bunga yang dibayarkan oleh perusahaan komersial akan meningkat, mengurangi aktivitas dan mengurangi pertumbuhan.
Selain itu, kenaikan suku bunga akan berdampak pada setiap rumah tangga, karena suku bunga hipotek akan naik, dan ada kemungkinan inflasi, penurunan nilai tukar syikal, dan penurunan standar hidup.
Menyinggung sikap Netanyahu yang meremehkan langkah badan tersebut, surat kabar tersebut secara sinis menggambahkan, “Dia [Netanyahu] hanyalah seorang pejalan kaki yang mendapati dirinya dalam posisi ini.”
(oln/*)