Warga Palestina yang Antre Cari Makan Tak Cuma Diberondong Peluru Tapi Juga Diseruduk Tank Israel
TRIBUNNEWS.COM - Setidaknya 112 warga Palestina tewas dan lebih dari 750 orang terluka setelah pasukan Israel (IDF) melepaskan tembakan senapan mesin berat dan artileri ke ribuan orang yang menunggu makanan di Jalan Al-Rashid di Gaza, Kamis (29/3/2024).
Banyaknya korban tewas dan luka-luka membuat insiden itu dinamai sebagai Flour Massacre, pembantaian di Tragedi Tepung Berdarah.
Baca juga: IDF Klaim Cuma Tembak Kaki, Sumber Militer Israel Akui Bantai Ratusan Warga Palestina Gegara Hal Ini
Sebagai informasi, kedatangan truk-truk berisi tepung dan makanan lainnya itu menjadi pengiriman makanan pertama ke Gaza utara dalam beberapa minggu.
Belakangan terungkap, kalau banyaknya jumlah korban tewas dan luka-luka, disebabkan bukan hanya karena berondongan peluru tentara Israel, namun juga aksi agresif kendaraan tempur dan tank IDF terhadap warga Palestina yang berkerumun.
“Setelah melepaskan tembakan, tank-tank Israel maju dan menabrak banyak korban tewas dan terluka,” ujar Ismail al-Ghoul dari Al Jazeera melaporkan dari tempat kejadian.
Seorang warga Palestina yang diwawancarai Al Jazeera di lokasi kejadian, menuturkan, tentara Israel memberondong peluru ke arah kerumuman warga Palestina secara serampangan.
Baca juga: Koin Logam Tangkis Peluru IDF, Pria Palestina Ini Selamat Seusai Ditembaki Saat Menunggu Bantuan
Dia menilai, datangnya bantuan kemanusiaan bagi jutaan pengungsi yang kelaparan tersebut adalah bak sebuah jebakan kematian.
“Kami datang ke sini untuk mendapatkan bantuan. Saya sudah menunggu sejak siang kemarin. Sekitar pukul 04.30 dini hari, truk-truk mulai berdatangan. Tentara Israel melepaskan tembakan sembarangan ke arah kami seolah-olah itu adalah jebakan. Begitu kami mendekati truk bantuan, tank dan pesawat tempur Israel mulai menembaki kami,” kata seorang saksi di lokasi kejadian kepada Al Jazeera.
Agresi Israel memicu penyerbuan sehingga menambah kekacauan.
“Kami akan membawa tepung… lalu penembak jitu Israel menembaki kami,” kata orang lain di daerah tersebut kepada outlet berita berbasis di Qatar tersebut.
Baca juga: IDF Sudah Tahu Ribuan Warga Palestina akan Kerubungi Bantuan: Terencana, Berondong Peluru Tanpa Ragu
Pernyataan Berubah-ubah dari IDF
Adapun pihak IDF beberapa kali mengubah pernyataan versi mereka terkait tragedi berdarah tersebut.
Awalnya, pada Kamis, IDF mengklaim mayoritas korban tewas akibat terinjak-injak.
Tetapi kemudian, IDF mengubah klaim menjadi dalil kalau tentara IDF melepaskan tembakan hanya setelah merasa “terancam.”
Baca juga: IDF Klaim Cuma Tembak Kaki, Sumber Militer Israel Akui Bantai Ratusan Warga Palestina Gegara Hal Ini
Respons AS, Veto DK PBB, Mau Kirim Bantuan Lewat Udara
Amerika Serikat (AS) atas tragedi tersebut diketahui masih memberikan respons pembelaan terhadap Israel dengan memveto pernyataan Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang akan mengutuk Israel atas pembantaian massal tersebut.
“Kami tidak memiliki semua fakta di lapangan – itulah masalahnya,” kata wakil duta besar AS untuk PBB Robert Wood kepada wartawan pada Kamis soal alasan veto AS.
Wood kemudian mengklaim ada “laporan yang bertentangan” tentang pembantaian terbaru tentara Israel tersebut.
Dia menekankan, Washington fokus untuk menemukan “beberapa bahasa yang dapat disepakati semua orang.”
Terkait teknis pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, AS secara tersirat juga terus membiarkan Israel melakukan kampanye genosida.
AS memang menyatakan akan mulai mengirimkan bantuan kemanusiaan darurat ke Gaza, namun dengan cara menerjunkannya lewat udara.
Hal ini disampaikan Presiden AS, Joe Biden, mengatakan pengiriman bantuan udara ke Gaza akan segera dimulai.
AS akan meniru cara Yordania yang sudah mulai duluan berinisiatif memberi bantuan lewat udara karena sulitnya jalur darat karena pembatasan oleh militer Israel.
“Dalam beberapa hari mendatang kami akan bergabung dengan teman-teman kami di Yordania dan pihak lain yang memberikan makanan dan pasokan tambahan melalui udara, dan akan berusaha membuka jalan lain, termasuk kemungkinan koridor laut,” ungkap Joe Biden, dilansir AP News.
Dua Muka Amerika
Insiden pada hari Kamis tersebut tampaknya memang mengubah persepsi dan mendorong Joe Biden untuk menyetujui pengiriman bantuan ke Gaza.
Tapi mengirimnya melalui udara karena Israel terus membatasi akses pasokan kemanusiaan penting melalui jalur darat menjadi wujud nyata dua muka alias hipokrasi AS.
Sejumlah pihak menilai, meski sangat berarti, pengiriman bantuan lewat udara ini sangat tidak efektif karena hanya setara dengan satu-dua truk, sedangkan jumlah warga kelaparan mencapai jutaan orang.
AS dinilai seharusnya mengupayakan bantuan darat secara intensif, termasuk menghukum Israel jika mereka menghalangi atau bahkan membantai warga yang berdatangan.
Cara Yordania mengirimkan bantuan kemanusiaan lewat udara bisa dipahami karena negara tersebut enggan memperburuk konflik dengan risiko personel ataupun kendaraan pengangkut bantuan mereka ditembaki tentara Israel.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi AS yang memang berststus sekutu dan supplier kebutuhan perang Israel.
Alih-alih memberikan bantuan teratas lewat udara, AS sejatinya punya akses tak terbatas di jalur darat -baik secara langsung maupun menggunakan pihak ketiga- dalam pengiriman bantuan jika ancaman risikonya cuma datang dari aksi agresif tentara IDF di lapangan.
Pun begitu, Juru bicara keamanan nasional Gedung Putih, John Kirby, beralasan kalau pengiriman bantuan butuh perencanaan yang matang.
Dia mengatakan pengiriman bantuan lewat jalur darat akan terus digunakan untuk menyalurkan bantuan ke Gaza, dan pengiriman bantuan melalui udara merupakan upaya tambahan.
“Ini bukanlah hal yang ingin Anda lakukan dalam sekejap. Anda ingin memikirkannya baik-baik,” kata Kirby.
“Ada beberapa operasi militer yang lebih rumit daripada bantuan kemanusiaan yang diberikan melalui udara," sambungnya.
Sebelumnya, Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, dan Pentagon telah mempertimbangkan manfaat dari bantuan militer AS selama beberapa bulan.
Namun, AS menundanya karena kekhawatiran bahwa metode tersebut tidak efisien, tidak memiliki cara untuk memastikan bantuan tersebut sampai ke warga sipil yang membutuhkan, dan tidak dapat memberikan bantuan yang diperlukan.
Para pejabat pemerintah mengatakan preferensi mereka adalah untuk lebih meningkatkan pengiriman bantuan melalui darat melalui titik perbatasan Rafah dan Kerem Shalom, serta mencoba membuat Israel membuka Erez Crossing ke Gaza utara.
(oln/almydn/aja/*)