Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, TEL AVIV – Pemerintah Israel mengumumkan rencana penjualan obligasi atau surat utang internasional dengan proyeksi nilai mencapai 4 miliar dolar AS hingga 6 miliar dolar AS, jadi penjualan terbesar yang pernah dilakukan Israel.
Melansir dari Al Maydeen penjualan surat utang ini dilakukan Israel untuk mendanai anggaran militer di tengah kondisi ekonomi Tel Aviv yang berkontraksi akibat lonjakan utang yang mendekati 8 miliar dolar AS buntut bengkaknya biaya operasi perang di Gaza.
"Israel dalam waktu dekat bersiap untuk menjual obligasi internasional pertamanya sebagai upaya mendanai kampanye genosida di Gaza dan dampaknya terhadap pasar dalam negeri,” jelas sumber yang mengetahui masalah itu.
Baca juga: Desak Hamas soal Gencatan Senjata, Biden Sebut Israel Kooperatif: Keputusan Ada di Tangan Hamas
Pemerintah Israel belum mengungkap secara rinci terkait kapan penjualan obligasi akan segera dimulai, namun menurut informasi yang beredar surat utang yang akan diobral Israel merupakan jenis obligasi jangka pendek dengan panduan spread sekitar 160 basis poin terhadap Treasury AS.
Tak hanya itu, Israel juga turut menjual sejumlah obligasi bertenor 10 tahun dengan kisaran spread 175 basis poin sementara untuk tenor 30 tahun akan diobral 205 basis poin terhadap Treasury AS.
Meski penjualan obligasi ini langsung mengangkat ekonomi Israel ke zona aman, namun cara ini berpotensi memberikan imbal hasil sekitar 5,8 persen bagi negara.
IMF Ramal Ekonomi Israel Boncos Tahun Ini
Sebelum ekonomi Israel mengalami kontraksi, Dana Moneter Internasional (IMF) telah lebih dulu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Israel akan mengalami perlambatan signifikan hingga memicu penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3 persen selama tahun 2024.
Ancaman tersebut diungkap oleh Kepala IMF Pierre-Olivier Gourincha, sejak perekonomian negara zionis itu terus mengalami kontraksi akibat pembengkakan biaya perang sebesar 582 miliar shekel atau sekitar 155 miliar dolar AS.
Angka tersebut melonjak tajam bila dibandingkan dengan anggaran tahun lalu sebelum perang pecah, dimana per Mei 2023 Kementerian keuangan Israel hanya menganggarkan biaya belanja perlengkapan militer sebanyak 70 miliar shekel atau 19 miliar dolar AS.
Kondisi kian diperparah karena sebagian besar aktivitas ekspor dan impor mengalami kemerosotan, sedangkanbisnis-bisnis mengalami kekurangan tenaga kerja lantaran ratusan ribu orang dipanggil sebagai tentara cadangan.
Serangkaian masalah ini yang membuat ekonomi Israel berada di jurang kehancuran, bahkan akibat krisis Israel mulai menelantarkan warganya yang biasa mendapatkan santunan dengan dalih untuk menekan pembengkakan negara di tengah situasi perang di jalur Gaza.
Sementara 81,6 penerima bantuan lanjut usia harus hidup dalam kemiskinan dan 31,5 persen warga Israel terancam menghadapi kerawanan pangan yang parah.