Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, MOSCOW – Ukraina, Uni Eropa hingga sejumlah negara Barat kompak melayangkan kecaman terhadap kemenangan telak Presiden Vladimir Putin dalam pemilihan presiden (pilpres) Rusia 2024.
Kecaman itu dilontarkan tak lama setelah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rusia, Ella Pamfilova merilis perolehan suara sementara dalam pilpres Rusia.
Dalam laporan tersebut Vladimir Putin tercatat mendulang suara terbanyak yakni sekitar 87,32 persen mengalahkan suara empat pesaingnya yakni Nikolai Kharitonov, Duma Negara, Leonid, dan Vladislav Davankov.
Baca juga: Media Ukraina: Zelensky Sebut Prabowo Presiden, Diundang Untuk Hadiri dalam KTT Perdamaian Global
Dengan perolehan suara ini Putin dapat kembali menduduki jabatan tertinggi di Rusia hingga 2036 mendatang, memperpanjang masa kepemimpinannya yang sebelumnya yang sudah berlangsung 24 tahun tepatnya pada 1999 silam.
Banyak pengamat memperkirakan Putin akan kembali memperketat kebijakannya dan meningkatkan perang, apabila terpilih sebagai presiden dalam pilpres tahun ini.
Sementara itu beberapa pihak mengatakan Kremlin bisa saja meluncurkan putaran lain seperti mobilisasi pasukan cadangan untuk meningkatkan jumlah militernya dan mencoba memperluas jangkauannya dalam serangan baru yang besar di Ukraina.
Hal ini yang membuat pemerintah pusat Ukraina khawatir hingga mengecam keras kemenangan Vladimir Putin dalam Pilpres Rusia. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bahkan menganggap hasil pilpres Rusia tidak sah.
"Semua orang di dunia mengerti bahwa orang ini, seperti banyak orang lain sepanjang sejarah, telah dimabuk kekuasaan dan tak akan berhenti untuk memerintah selamanya," kata Zelensky.
Tak hanya Ukraina, Pemerintah negara-negara Barat juga mengutuk kemenangan telak Vladimir Putin dalam pemilihan presiden Rusia karena hasil suara dianggap tidak adil dan tidak demokratis.
Baca juga: Putin Diklaim Unggul 88 Persen di Pilpres Rusia 2024, Zelensky: Ia Terobsesi dengan Kekuasaan
Salah satu negara yang aktif menentang kemenangan Putin adalah, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell yang menegaskan bahwa pemilu tersebut tidak berlangsung “bebas dan adil” karena tidak ada tanpa ada oposisi yang dihancurkan atau tidak ada pengamat internasional yang hadir.
Menteri Luar Negeri Prancis Stephane Sejourne menilai Pilpres Rusia sebagai ‘operasi pemilihan khusus.’ Istilah tersebut digunakan sebagai balasan atas dalih Rusia terhadap perang di Ukraina sebagai operasi militer khusus.
"Kondisi-kondisi untuk sebuah pemilihan yang bebas, pluralistik dan demokratis tidak terpenuhi," ungkap Sehourne.
Hal serupa juga dilontarkan Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Breabock yang menilai pemungutan suara Rusia merupakan pemilu semu lantaran tak memberikan banyak pilihan terhadap rakyat.
“Pemilu semu di Rusia tidak bebas dan tidak adil, hasilnya tidak akan mengejutkan siapa pun. Pemerintahan Putin bersifat otoriter, ia mengandalkan sensor, penindasan, dan kekerasan. Pemilu yang di gelar di wilayah pendudukan Ukraina adalah batal demi hukum dan merupakan pelanggaran hukum internasional lainnya,” kata Breabock , dikutip Al Jazeera.
Senada dengan yang lainnya Menteri Luar Negeri Britania Raya David Cameron, Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani, dan Menteri Luar Negeri Ceko Jan Lipavsky juga turut menyuarakan kecaman serupa atas kemenangan Putin di Rusia.