TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vlamir Putin kembali menang dalam pemilihan presiden yang digelar di Rusia beberapa hari lalu.
Putin menang telak dengan raihan suara amat besar, yakni mencapai 87,8 persen.
Kemenangan mutlak mantan agen itu disebut menujukkan bahwa persatuan di Rusia kini makin kuat.
Sementara itu, dunia Barat disebut sedang didera oleh “permasalahan besar” dalam menyatukan massa atau basis-basis pendukung.
“Saya pikir [hasil pilpres ini] dengan sangat akurat mencerminkan keinginan rakyat Rusia dan susah untuk menemukan bukti apa pun yang bertentangan,” ujar Nicolai Petro, pakar politik di Universitas Rhode Island, dalam acara The Critical Hours di Sputnik News pada Selasa (19/3/2024) pekan ini.
Petro mengatakan mungkin ada opini yang berlawanan di media Barat.
“Tetapi Anda tak menemukan satu pun bukti (yang mendukung opini itu),” katanya.
Garland Nixon yang bertindak sebagai pembawa acara The Critical Hours menyebut para pemimpin Barat memiiliki approval rating (angka kepuasaan rakyat kepada pemimpin) yang sangat rendah.
Sebagai contoh, 76 persen rakyat Prancis menolak rencana Presiden Emmanuel Macron untuk mengirim tank ke Ukraina.
Kemudian, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Kanselir Jerman Olaf Scholz masing-masing hanya memiliki approval rating 25 persen dan 17 persen.
“Itu masalah yang amat besar bagi Barat. Kita punya basis dukungan yang terpecah-pecah di Barat, mungkin persatuan kepemimpinan yang lebih pura-pura, tetapi itu hanya terjadi hingga oposisi mulai berkuasa. Maka, kita punya masalah yang sangat besar bagi Barat, dilihat dari perspektif apa pun," kata Petro.
Baca juga: Putin Menang Pilpres Rusia, Hamas Berharap Persahabatan dengan Moskow Makin Erat
“Sementara itu, di Rusia, dilihat dari perspektif apa pun, Anda memiliki penduduk dan elite politik yang bersatu,” ujarnya.
Petro kemudian menyinggung jurnalis ternama asal Ukraina bernama Diana Panchenko yang kini berada di pengasingan: “Barat yang bersatu secara kolektif telah memberi kami Rusia yang bersatu secara kolektif.”
Putin menang pilpres
Putin menang pilpres dengan raihan 87,8 persen suara. Raihan itu adalah yang tertinggi dalam sejarah Rusia setelah Uni Soviet runtuh.
Dengan perolehan suara sebesar itu, bisa dikatakan bahwa Putin tak menghadapi lawan kuat dalam pilpres tahun ini.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara Barat lainnya mengklaim bahwa pilpres di Rusia tidak bebas atau berjalan dengan tidak adil karena lawan-lawan politik dipenjara.
Capres selain Putin hanya mendapat sedikit sekali suara. Nikolai Kharitonov menjadi capres dengan suara terbanyak kedua, yakni 4 persen.
Di belakang Kharitonov Vladislav Davankob dan kemudian Leonid Slutsky pada posisi keempat.
Dalam pidato kemenangannya di Moskwa, Putin mengaku akan mengutamakan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan “operasi militer khusus di Ukraina” dan menguatkan militer Rusia.
“Kita punya banyak tugas ke depan. Namun, ketika kita bersatu, tak penting siapa yang ingin mengintimidasi kita, menekan kita, tak ada yang pernah berhasil dalam sejarah, mereka tidak berhasil saat ini, dan mereka tidak akan berhasil pada kemudian hari,” ujar Putin dikutip dari Reuters.
Para pendukung pria berusia 71 tahun itu menerikakkan nama Putin ketika dia berada di atas panggung.
Baca juga: Ubah Taktik Perang, Putin Tunjuk Panglima Angkatan Laut Rusia yang Baru
Adapun setelah Putin selesai menyampaikan pidato, mereka berteriak, “Rusia, Rusia, Rusia!”
Meski demikian ada pula sejumlah orang yang melancarkan aksi protes terhadap Putin di Rusia dan di luar negeri.
Kepada wartawan, Putin mengklaim bahwa pemilu di Rusia berjalan dengan demokratis.
Dia kemudian mengatakan aksi protes terhadap dia tidak akan mempengaruhi hasil pilpres.
(Tribunnews/Febri)