News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Palestina Vs Israel

Di Depan Tank, Jenderal IDF Mencak-mencak ke Para Politisi Israel yang Terbelah Soal Wajib Militer

Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah tank militer Israel meluncur di dekat perbatasan dengan Jalur Gaza pada 3 Desember 2023, di tengah berlanjutnya pertempuran antara Israel dan kelompok militan Hamas.

Di Depan Tank, Jenderal IDF Suarakan Kemarahan Tentara Israel ke Politisi Tel Aviv yang Doyan Ribut

TRIBUNNEWS.COM - Brigadir Jenderal Dan Goldfus, seorang jenderal dari pasukan pendudukan Israel (IDF) menyuarakan kemarahan tentara IDF atas perilaku politisi negaranya yang tengah ribut terkait aturan wajib militer di negara tersebut.

Berdiri di depan sebuah tank di tepi Jalur Gaza, Jenderal Israel itu menyela wawancaranya tentang perang melawan Hamas untuk menyampaikan kemarahan ke para politisi Israel di televisi, lapor Reuters.

Baca juga: Gallant Mau Yahudi Ultra-Ortodoks Harus Masuk Militer, Netanyahu: Kamu Bahayakan Stabilitas Israel

Dan Goldfus mendesak para politisi Israel dari semua golongan untuk menolak ekstremisme dan bersatu, menghindari kembalinya status quo sebelum pecahnya konflik pada Oktober merujuk pada serangan Banjir Al-Aqsa oleh Hamas.

Kemarahan sang jenderal itu meledak ketika perpecahan politik dan protes berbulan-bulan telah membuat Israel sangat terpolarisasi.

“Kalian (para politisi Israel) harus layak bagi kami. Anda harus layak bagi para prajurit yang telah kehilangan nyawa mereka,” kata Goldfus dalam wawancaranya pada 13 Maret 2024 sialm, yang disiarkan di saluran televisi utama Israel.

Goldfus kemudian mendapat teguran atas pernyataannya tersebut oleh Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Letjen Herzi Halevi, dua hari kemudian, kata Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Namun kata-kata Goldfus rupanya menyentak hati sebagian warga Israel yang berada di garis depan.

“Dia memberikan suara kepada banyak orang yang merasa mereka mengorbankan hidup dan waktu mereka sementara para politisi sibuk dengan politik kecil-kecilan,” kata Barak Reicher (42) yang baru saja menjalani tugas di pasukan cadangan IDF selama lima bulan.

Reuters kemudian mewawancarai 13 tentara IDF dari satuan pasukan cadangan dan wajib militer di pangkalan militer, di parlemen, di rumah, dan di lokasi protes.

"Mereka semua berbicara tentang semangat tinggi rekan-rekan mereka di medan perang, namun sebagian besar juga menggambarkan rasa frustrasi mereka terhadap kepemimpinan politik Israel," tulis laporan Memo.

Beberapa pihak, dari kedua sisi spektrum politik, menyuarakan kemarahan karena pemerintah gagal mengatasi isu-isu penting seperti reformasi wajib militer dan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh tentara cadangan yang kembali.

Baca juga: Mati-matian Bela Yahudi Ultra-ortodoks, Netanyahu Ancam Para Menteri Israel Soal RUU Haredi

IDF, yang tidak mengomentari masalah kebijakan pemerintah, tidak segera menanggapi pertanyaan Reuters terkait kontroversi RUU Wajib Militer di Israel.

Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga tidak menanggapi pertanyaan yang sama.

Kekacauan di Kabinet

Setelah serangan Hamas pada tanggal 7 Oktober, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu membentuk pemerintahan darurat nasional dengan memasukkan partai berhaluan tengah yang dipimpin oleh mantan kepala pertahanan, Benny Gantz.

Gantz, adalah saingan dan oposan Netanyahu.

Langkah ini menandai berakhirnya periode kekacauan politik yang ditandai dengan protes massal tahun lalu atas rencana pemerintah sayap kanan untuk melakukan reformasi peradilan yang tidak populer.

Namun perpecahan di pemerinathan Israel kembali muncul kembali.

Menteri-menteri kabinet Israel saling menyalahkan satu sama lain atas kegagalan keamanan pada tanggal 7 Oktober, berdebat mengenai keuangan dan perebutan kekuasaan untuk mendapatkan kursi di kabinet perang.

Gambar selebaran yang dirilis oleh tentara Israel pada 31 Januari 2024 ini menunjukkan pasukan Israel mengevakuasi seorang tentara yang terluka selama operasi di Jalur Gaza, di tengah pertempuran yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas. (Tentara Israel / AFP)

Pengecualian Wajib Militer Bagi Kaum Yahudi Ultra-ortodoks

Fokus ketegangan adalah batas waktu 31 Maret yang ditetapkan Mahkamah Agung Israel bagi pemerintah koalisi Netanyahu untuk merancang undang-undang wajib militer baru.

RUU ini kontroversial dan dianggap dapat menimbulkan ancaman bagi kelangsungan pemerintahannya.

Pemerintahan Netanyahu mengandalkan dukungan pada partai-partai keagamaan ultra-Ortodoks dengan berjanji untuk memberikan pengecualian luas bagi komunitas mereka untuk wajib militer.

Namun Gantz, pada gilirannya, mengancam akan meninggalkan pemerintahan jika tuntutannya agar undang-undang yang lebih adil tidak dipenuhi.

Gantz meminta, semua warga Israel dari kalangan manapun harus dikenai wajib militer.

Baca juga: Perang Tak Juga Dimenangkan, Israel Umumkan Perintah Penambahan Masa Tugas Ribuan Tentara

Di pihak lain, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mendukung Gantz, dengan mengatakan bahwa dia tidak akan mendukung rancangan undang-undang yang tidak diterima oleh semua anggota kabinet.

Pengecualian bagi kaum ultra-Ortodoks ini merupakan sumber kebencian yang sudah lama ada di kalangan arus utama Israel, yang pada usia 18 tahun harus menjalani wajib militer selama dua atau tiga tahun.

Banyak kaum ultra-Ortodoks, yang menganut studi agama penuh waktu, juga tetap berada di luar angkatan kerja yang membayar pajak, dan sebagian besar bergantung pada tunjangan negara.

Sementara itu, warga Israel yang bertugas di ketentaraan dapat dipanggil ke unit pasukan cadangan hingga sekitar usia 40 tahun, atau bahkan lebih tua, sehingga meninggalkan pekerjaan dan keluarga.

"Kelompok cadangan memainkan peran penting dalam protes tahun 2023 mengenai reformasi peradilan, yang menurut mereka akan melumpuhkan Mahkamah Agung. Beberapa mengancam tidak akan menjawab panggilan tugas," tulis laporan Memo.

Kelompok pasukan cadangan yang paling menonjol selama protes tersebut, Brothers in Arms, bulan ini mengumumkan bahwa mereka kembali turun ke jalan untuk berdemonstrasi menentang pemerintah, dengan fokus baru pada undang-undang wajib militer.

“Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini adalah melalui protes,” kata Omri Ronen, seorang kapten tentara cadangan dan anggota kelompok tersebut, pada salah satu demonstrasi nasional pada hari Sabtu.

“Ini mungkin kesempatan terakhir kita dan kita tidak boleh menyia-nyiakannya,” katanya.

(oln/memo/*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini