Ketegangan ini kemungkinan akan meningkat, jika pemberontak melakukan perlawanan di wilayah perkotaan yang sebelumnya tidak terkena dampak konflik. Bulan ini, mereka melancarkan serangan roket dan drone ke Naypyidaw, ibu kota Myanmar yang dijaga ketat, dan menghantam pangkalan junta di dekat bandara kota tersebut.
"Serangan di Naypyidaw dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi para jenderal. Saya rasa, penting bagi pasukan oposisi untuk meningkatkan jumlah serangan di wilayah perkotaan,” kata Abuza.
Takut pembalasan militer
Ketika konflik ini menempatkan pihak militer dalam posisi lemah, junta berupaya meningkatkan pangkat dan jumlah personel bersenjatanya. Baru-baru ini pemerintah kembali memberlakukan wajib militer, yang mengharuskan pria dan perempuan untuk ikut wajib militer setidaknya selama dua tahun. Dari 56 juta penduduk, 14 juta memenuhi syarat untuk dinas militer.
Militer punya target untuk merekrut 60.000 anggota baru setiap tahunnya, dan 5.000 orang sampai akhir April ini. Potensi pertambahan personil ini, ditambah dengan kekuatan junta yang besar, menunjukkan bahwa rezim tersebut masih cukup kuat dan tidak akan menyerah.
"Militer mempunyai kawasan yang luas untuk dijadikan tempat mundur, dengan jaringan pangkalan dan produksi senjata. Mereka mungkin kalah, tapi ini tidak berarti mereka sudah habis-habisan. Ini adalah rezim yang selalu menganggap taktik bumi hangus sebagai hal biasa," kata Mathieson.
Juru bicara faksi pemberontak KNU, Padoh Saw Taw Nee mengaku khawatir dengan respons militer yang diperkirakan akan terjadi setelah Myawaddy direbut.
"Balasan dari SAC harus diwaspadai. Setiap kali mereka kalah seperti itu, biasanya mereka melakukan pembalasan besar-besaran dengan serangan udara. Mereka selalu mengatakan bahwa, kapan pun Anda menguasai sebuah tempat, tidak masalah – kami hanya perlu menghancurkan tempat ini sehingga Anda tidak dapat mengatur administrasi Anda dari situ," ujarnya. (hp/ap)