“Mustahil untuk merasa bersemangat untuk bekerja ketika Anda tahu perusahaan Anda menyediakan produk-produk pemerintah Israel yang membantunya melakukan kekejaman di Palestina,” kata Tina Vachovsky, staf insinyur perangkat lunak di Google, dalam sebuah testimoni yang dipublikasikan di No Tech For Apartheid, dikutip dari Al Jazeera.
Selain itu, aktivis dan akademisi juga khawatir dengan penggunaan AI oleh Israel untuk menargetkan warga Palestina.
Pakar hukum mengatakan penggunaan AI dalam perang melanggar hukum internasional.
Profesor di Universitas California, Los Angeles (UCLA), Ramesh Srinivasan, berkata kepada Al Jazeera bahwa Proyek Nimbus kurang transparan.
"Data untuk pemerintah Israel, tentu saja, kemungkinan besar akan diperluas ke (tentara) Israel," katanya.
"Jadi ini adalah proyek yang menandai dan menyoroti hubungan langsung yang dimiliki perusahaan-perusahaan teknologi besar di Amerika Serikat, tidak hanya dengan apa yang disebut sebagai kompleks industri militer, namun juga secara langsung membantu dan bersekongkol dengan pemerintah Israel," katanya.
Disebutkan juga para pekerja yang ikut serta dalam aksi duduk damai dan menolak untuk pergi tidak merusak properti atau mengancam pekerja lainnya.
“Alasan untuk menghindari berkonfrontasi dengan kami dan kekhawatiran kami secara langsung, dan berupaya membenarkan penembakan yang ilegal dan bersifat pembalasan, adalah sebuah kebohongan,” kata pernyataan itu lebih lanjut.
Sebaliknya, No Tech for Apartheid menyebut mereka menerima tanggapan yang sangat positif, dikutip dari Palestine Chronicle.
Baca juga: Karyawan Google di PHK Usai Desak CEO Putus Kontrak Rp19,4 Triliun dengan Israel
Pernyataan Google
Dalam sebuah pernyataan, Google mengatakan bahwa kontrak Proyek Nimbus “tidak ditujukan pada beban kerja yang sangat sensitif, rahasia, atau militer yang relevan dengan senjata atau badan intelijen”.
Raksasa teknologi ini mengatakan pihaknya bekerja sama dengan beberapa pemerintah di seluruh dunia, termasuk Israel.
"Kami memiliki budaya diskusi yagn dinamis dan terbuka yang memungkinkan kami menciptakan produk luar biasa dan mewujudkan ide-ide hebat menjadi nyata," kata CEO Google Sundar Pichai melalui sebuah pesan yang dibagikan di blognya minggu lalu.
Tulisan di blog itu menekankan bahwa budaya di perusahaan itu penting untuk dilestarikan.
"Namun, pada akhirnya kita adalah tempat kerja dan kebijakan serta ekspektasi kita jelas: ini adalah bisnis, dan bukan tempat untuk bertindak dengan cara yang mengganggu rekan kerja atau membuat mereka merasa tidak aman, mencoba menggunakan perusahaan sebagai platform pribadi, atau untuk memperebutkan isu-isu yang mengganggu atau memperdebatkan politik. Ini adalah momen yang terlalu penting sebagai sebuah perusahaan untuk kita alihkan perhatiannya,” tulisnya.