TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara bahasa Arab untuk Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Hala Rharrit telah meletakkan jabatannya buntut masalah di Gaza.
Menurut laporan Al Arabiya English, Hala Rharrit mengundurkan diri dari jabatannya karena menentang kebijakan pemerintahan Presiden Joe Biden di Gaza.
Rharrit yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Dubai Regional Media Hub, bergabung dengan Dinas Luar Negeri pada tahun 2006 sebagai pejabat politik.
“Saya mengundurkan diri pada April 2024 setelah 18 tahun mengabdi secara terhormat," ungkap Rharrit di halaman LinkedIn-nya.
"Diplomasi, bukan senjata. Jadilah kekuatan untuk perdamaian dan persatuan,” tulisnya lebih lanjut.
Rharrit adalah satu dari diplomat AS yang mengundurkan diri dari jabatannya karena mengritik 'dukungan tanpa syarat kepada Israel' yang terus membombardir Gaza.
Sebelumnya, pejabat Deplu AS juga ada yang mengajukan pengunduran diri.
Sebut saja, Josh Paul, yang merupakan Direktur Biro Urusan Politik-Militer Departemen Luar Negeri.
Ia menyerahkan jabatannya pada bulan Oktober 2023.
Paul juga menyebutkan bahwa dirinya tidak setuju dengan keputusan pemerintahan Biden untuk memberikan senjata kepada Israel.
Kampanye militer Israel dimulai setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, yang menewaskan sekitar 1.200 orang.
Baca juga: Profil Kepala Intelijen Israel, Mayjen Aharon Haliva
Sebagai tanggapan, kampanye Israel telah menewaskan sekitar 34.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Rezim Zionis tidak membedakan antara warga sipil dan pejuang Hamas yang terbunuh, namun diyakini mayoritas adalah warga sipil.
Belum lama ini, pejabat tinggi Israel juga mengundurkan diri buntut masalah Gaza.
Diawali dengan merasa gagal menghardik serangan Hamas 7 Oktober 2023, Kepala Direktorat Intelijen Militer Israel, Mayor Jenderal Aharon Haliva meletakkan jabatannya pada Senin (22/4/2024).
Haliva menjadi tokoh senior Israel pertama yang mengundurkan diri menyusul perang di Gaza.
"Haliva meminta untuk menyudahi dinasnya sebagai bentuk tanggung jawab atas kepemimpinannya," ungkap militer dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan itu menambahkan Kepala Staf Militer Israel menerima permintaan pengunduran diri Haliva dan mengucapkan terima kasih atas pengabdiannya.
Pengunduran diri Haliva membuka kemungkinan dampak yang lebih besar di antara para petinggi keamanan Israel atas serangan Hamas.
Namun, keterangan mengenai waktu pengajuan pengunduran diri Haliva tidak jelas.
Meski Haliva dan pihak-pihak lain mengakui kesalahan karena gagal menghentikan serangan Hamas 7 Oktober, pihak lain diam saja, terutama Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Lebih jauh, situs berita Axios, media yang berbasis di AS, pada hari Sabtu (20/4/2024) kemarin melaporkan bahwa Gedung Putih berencana menjatuhkan sanksi terhadap Batalion Netzah Yehuda Israel, yang beroperasi di Tepi Barat yang diduduki.
Baca juga: Warming Up Serangan Darat Israel ke Rafah, Brigade Nahal Berkemas Tinggalkan Gaza
Menyusul laporan Axios, media Israel juga mengidentifikasi bahwa Netzah Yehuda menjadi target sanksi Amerika.
Menteri Kabinet Perang Israel, Benny Gantz mengatakan telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan memintanya untuk mempertimbangkan kembali masalah tersebut.
Gantz mengatakan sanksi seperti itu merupakan sebuah kesalahan karena akan merugikan legitimasi Israel selama masa perang.
“Saya pikir adil untuk mengatakan bahwa Anda akan segera melihat hasilnya," kata Blinken.
"Saya telah mengambil keputusan; Anda dapat berharap untuk melihatnya di hari-hari mendatang," tegasnya.
Seorang pejabat PBB menilai perang dahsyat yang dilakukan Israel telah meninggalkan sekitar 37 juta ton puing di Jalur Gaza.
"Meskipun tidak mungkin untuk menentukan jumlah pasti persenjataan yang belum meledak yang ditemukan di wilayah perkotaan dan padat penduduk, hal ini diperkirakan akan memakan waktu 14 tahun untuk membersihkan puing-puing," kata Pehr Lodhammar, perwira senior di Dinas Pekerjaan Ranjau PBB.
“Kami tahu bahwa biasanya ada tingkat kegagalan setidaknya 10 persen amunisi layanan darat yang ditembakkan dan gagal berfungsi,” kata Lodhammer.
“Kita berbicara tentang 14 tahun kerja dengan 100 truk," singgungnya.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)