TRIBUNNEWS.COM - Presiden Iran, Ebrahim Raisi menggambarkan protes universitas-universitas pro-Palestina yang sedang berlangsung di negara-negara Barat sebagai peristiwa besar.
Menurutnya, tindakan keras pihak berwenang terhadap demonstrasi tersebut telah mengungkap wajah sebenarnya dari peradaban Barat.
"Protes yang dilakukan oleh mahasiswa dan akademisi serta elit di negara-negara Barat, yang dilakukan untuk mendukung Gaza, adalah peristiwa besar yang memiliki banyak aspek," kata Raisi, dalam sidang kabinet di Teheran, Minggu (28/4/2024).
"Tindakan keras terhadap protes dan penangkapan mahasiswa dan akademisi, terutama di AS, merupakan bab lain dari skandal yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim membela kebebasan berpendapat," lanjutnya.
Menurutnya, memburuknya situasi di Jalur Gaza telah mengungkap kebobrokan pemerintah AS dan Barat.
Ia menyindir AS yang mengaku menjunjung kebebasan berpendapat, tapi malah memerintahkan polisi untuk menangkap para demonstran pro-Palestina.
"Mereka yang mengaku membela kebebasan berpendapat tidak berkomitmen apa pun selain mempertahankan dominasi mereka," katanya.
Dia menekankan bahwa tindakan keras tersebut tidak akan menghentikan protes terhadap kekejaman dan kejahatan Israel terhadap warga Palestina.
Protes terhadap genosida yang dilakukan Israel di Jalur Gaza telah menyebar melalui kampus-kampus AS dan tempat lain di Australia dan Eropa selama beberapa hari terakhir.
Para pengunjuk rasa ingin universitas mereka melakukan penarikan dana atau aset investasi dari Israel dan berhenti mendanai genosida.
Kekerasan terhadap Pengunjuk Rasa di AS dan Barat
Baca juga: Warga AS Pro-Palestina Kecam Makan Malam Koresponden Gedung Putih, Desak Biden Bebaskan Gaza Segera
Kemarin, Minggu (28/4/2024), polisi AS menangkap ratusan demonstran di berbagai universitas yang menggelar protes pro-Palestina dan menuntut pemerintah AS untuk mendukung gencatan senjata di Jalur Gaza.
Polisi Negara Bagian Indiana bersama dengan polisi Universitas Indiana mengatakan kepada para demonstran bahwa mereka tidak dapat mendirikan tenda dan berkemah di kampus.
Sejumlah 23 pengunjuk rasa ditangkap di Universitas Indiana di Bloomington dan 69 pengunjuk rasa ditangkap di Arizona State University pada Sabtu (27/4/2024), dikutip dari Reuters.
Minggu lalu, 100 demonstran ditangkap di Universitas Columbia dan 102 demonstran ditangkap di Universitas Northeastern di Boston.
Selain AS, protes terhadap Israel menyebar hingga ke Jerman.
Pada Jumat (26/4/2024) lalu, polisi Jerman membubarkan kamp dukungan untuk Jalur Gaza di Kantor Kanselir dan di seberang Bundestag.
Mereka memukuli para demonstran hingga beberapa orang mengalami cedera.
"...Mereka memukuli kami dengan kejam di depan parlemen, menangkap kami, dan kami dirawat di rumah sakit,” kata Yasemin Acar, salah satu pengunjuk rasa yang dipukuli polisi, mengatakan kepada Anadolu.
“Begitu saya sampai di sana, polisi sudah melihat (saya). Kami mulai mengangkat slogan-slogan. Ketika saya mengatakan: 'Kemerdekaan untuk Palestina,' polisi menuding saya," katanya.
“Kemudian 10-15 polisi datang, semuanya laki-laki. Mereka menarik kepala saya dan salah satu dari mereka memukul hidung saya," lanjutnya.
Setelah hidungnya dipukul oleh polisi, ia menjadi kesulitan bernapas.
“Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak bisa bernapas. Namun mereka tidak mendengarkan dan meminta saya untuk 'diam'," ujarnya.
“Jadi hak asasi manusia, dan menjadi perempuan tidak ada nilainya lagi," lanjutnya.
Ia mengatakan sejumlah pengunjuk rasa di Jerman yang mengalami cedera akan menuntut polisi yang memukuli mereka.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel