TRIBUNNEWS.COM - Junta Myanmar melarang laki-laki yang sudah cukup umur untuk menjalani wajib militer (wamil) pergi bekerja di luar negeri, Kamis (2/5/2024).
Oleh karena itu, pihak berwenang bakal menangguhkan pengajuan izin bekerja di luar negeri, BBC melaporkan.
Di Myanmar, pria berusia 18 hingga 35 tahun dan wanita berusia 18 hingga 27 tahun wajib mendaftar wajib militer.
"Kementerian Tenaga Kerja telah menangguhkan sementara penerimaan lamaran dari laki-laki yang ingin bekerja di luar negeri," kata Kementerian itu dalam sebuah pernyataan yang diposting oleh tim informasi junta pada Kamis (2/5/2024) malam.
Junta menjelaskan tindakan tersebut diperlukan untuk mengambil lebih banyak waktu memverifikasi proses keberangkatan dan masalah lainnya.
Sebelumnya penduduk setempat diizinkan berangkat kerja ke luar negeri dan ada banyak diaspora warga negara Myanmar yang bekerja di negara-negara di Asia dan Timur Tengah.
Dikutip Arab News, pembatasan ini terjadi ketika pertempuran antara junta dan oposisi di negara itu semakin meningkat.
Junta telah memberlakukan perintah wajib militer pada bulan Februari kemarin.
Militer menegaskan bahwa pihak berwenang akan menegakkan undang-undang yang memungkinkan mereka memanggil semua pria untuk bertugas di militer setidaknya selama dua tahun.
Perintah wamil yang dikeluarkan oleh pemerintah militer Myanmar beberapa waktu kemarin mendorong banyak orang melarikan diri dari tugas tersebut.
Hampir 100.000 laki-laki mengajukan permohonan izin kerja dalam tiga bulan terakhir, yang merupakan bagian dari eksodus besar generasi muda yang melarikan diri.
Baca juga: Myanmar: Perlawanan Terhadap Junta Militer Masuki Babak Baru
Lebih dari 4 juta warga negara Myanmar bekerja di luar negeri pada tahun 2020, menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional yang mengutip angka dari pemerintah saat itu.
Kaum muda sebelumnya bercerita kepada BBC tentang keputusasaan mereka untuk keluar dari negara tersebut, terutama setelah perintah wajib militer diberlakukan.
Tindakan keras terhadap kemungkinan bekerja di luar negeri dipandang sebagai pukulan besar.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)