Tentara Israel Bingung, Balik ke Jabalia dan Bom Kamp Pengungsi, Para Ibu Tentara IDF Frustasi
TRIBUNNEWS.COM - Tentara pendudukan Israel (IDF) dinilai menunjukkan kebingungannya dalam aspek kepemimpian maupun strategi militer yang mereka jalankan dalam Perang Gaza dalam dalih memberantas Hamas.
Hal itu merujuk pada aksi IDF pada Sabtu (11/5/2024) pagi yang kembali mengeluarkan perintah evakuasi lanjutan terhadap warga sipil Palestina di Rafah, Gaza Selatan, dan Kota Jabalia, Gaza Utara.
IDF dalam pernyataannya akan mengerahkan kekuatan besar ke dua wilayah yang mendapat perintah evakuasi lanjutan.
Baca juga: AS Sebut Israel Tak Terbukti Langgar Hukum Internasional, IDF Bersiap Gempur Total Rafah dan Jabalia
Khusus untuk Jabalia, Gaza Utara, manuver IDF ini menandai kembalinya pasukan Israel ke wilayah yang bulan lalu mereka deklarasikan sudah 'dinetralkan' dari unsur-unsur militer Hamas.
Saat itu, IDF menyatakan sudah 'membongkar' kerangka tempur Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, lalu menarik diri dari RS Al-Shifa dengan meninggalkan jejak kekejaman berupa sejumlah kuburan massal berisi ratusan jenazah warga Palestina di sana.
Baca juga: Komandan Batalyon 932 Israel Pembantai Al Zaytoun-Al Shifa: Nuseirat Selesai, Kami Meluncur ke Rafah
Artileri IDF Mulai Bombardir Jabalia
Ancaman Israel menduduki kembali Kota Jalabia, lokasi kamp pengungsi sebelum mereka sendiri alihkan ke Gaza Selatan, dilakukan dengan membombardir area itu dengan bom artileri, Sabtu (11/5/2024) petang.
Padahal, baru Sabtu pagi, tentara pendudukan Israel mengeluarkan pengumuman evakuasi.
Laporan terkini dari Khaberni melaporkan peluru artileri Israel menghasilkan ledakan beriring kepulan asap tebal di wilayah kamp pengungsi tersebut.
Bom artileri dan serangan udara, lazim dilakukan Pasukan IDF sebagai serangan pendahuluan sebelum pasukan infanteri masuk ke zona perang.
Tentara pendudukan Israel mengklaim, upaya mereka menduduki kembali Kota Jabalia disebabkan oleh upaya Hamas untuk memulihkan kemampuannya di sana.
Kehilangan Kepercayaan Pasukan
Perintah untuk kembali menduduki Jabalia ini disambut oleh keputusasan dan rasa tidak percaya pasukan IDF terhadap garis komando militer mereka.
Surat kabar Israel Maariv, mengutip pernyataan para ibu tentara Israel yang kembali berperang di Jalur Gaza utara melaporkan kalau para ibu tersebut mengatakan kalau anak-anak mereka semakin merasa frustrasi dan tidak mempercayai kepemimpinan militer Israel.
"Para ibu dari tentara pendudukan mengungkapkan rasa frustrasinya akibat politisi Israel memanipulasi kehidupan anak-anak mereka yang berperang di Gaza," kata laporan tersebut.
Hilangnya kredibilitas kepemimpinan militer Israel sejatinya sudah terjadi sejak awal-awal pecahnya perang Gaza.
Pada November 2023 silam, setengah kompi pasukan IDF menolak berperang di Gaza karena dua pimpinan lapangan mereka justru didepak dari satuan.
Baca juga: Setengah Kompi Unit Tempur IDF Tolak Kembali Bertempur di Gaza, Tentara Israel Didera Perpecahan
Seiring berlarutnya perang yang sudah berlangsung selama 7 bulan tanpa memperoleh target dan tujuan yang ditetapkan, laporan menunjukkan rasa frustasi di kalangan pasukan IDF juga meningkat yang ditunjukkan oleh naikknya permintaan layanan konsultasi psikologis dan gangguan mental.
Tiga Masalah Besar
Ini bukan kali pertama Pasukan Israel berniat kembali menduduki wilayah yang sudah mereka kuasai lalu ditinggal pergi.
Sebuah laporan yang menjelaskan penyerbuan kembali RS Al-Shifa pada November 2023 silam, menyatakan kalau Militer Israel memang dilanda kebingungan dan mempertontonkan 3 masalah besar dalam strategi Perang Gaza.
Penyerbuan kembali RS Al-Shifa, Gaza Utara pada November lalu, merupakan klimaks pertama dari agresi darat Israel terhadap Gaza yang dimulai tahun lalu, setelah Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas.
Saat itu, penyerbuan Israel disertai dengan dugaan keberadaan markas pimpinan Hamas, di bawah rumah sakit.
Tuduhan ini belakangan terbukti salah.
Baca juga: Gaza Selatan Meledak Lagi, Tank IDF Hangus, Tentara Israel Panggil Bala Bantuan di Gerbang Al-Zaytun
"Setelah tiga bulan, penyerbuan tentara IDF terhadap kompleks medis tersebut merupakan pengakuan tersirat bahwa kendali atas wilayah utara telah lepas dari tangannya," tulis Khaberni mengutip laporan The Guardian .
Laporan itu menunjukkan secara jelas kalau Hamas masih aktif di daerah-daerah di mana Israel mengumumkan telah menetralisirnya.
Pecahnya pertempuran di lingkungan Zaytoun dan Beit Hanoun menjadi tanda lain kalau klaim Israel menguasai Gaza Utara masih jauh dari kenyataan.
Surat kabar tersebut mengatakan bahwa ada tiga hal yang dipertontonkan IDF saat kembali menyerbu RS Al-Shifa pada November silam.
Baca juga: Terbongkar Tujuan Israel Serbu Lagi RS Al-Shifa dan Bunuh Brigadir Jenderal Fayeq Al-Mabhouh
"Yang pertama adalah bahwa Hamas, meskipun menderita kerugian, masih memiliki jumlah orang bersenjata yang cukup dan sistem kepemimpinan fungsional yang cukup untuk melancarkan serangan sporadis terhadap pasukan Israel, dan dalam hal ini dibantu oleh kehadiran sistem terowongan," tulis laporan tersebut.
Masalah kedua, menurut laporan itu adalah Israel mendemobilisasi sebagian besar tentara cadangannya dan memindahkan unit reguler besar ke perbatasan utara atau Tepi Barat yang didudukinya.
"Karena fase serangannya saat ini berfokus pada penggantian konfrontasi militer darat yang jumlahnya banyak dengan pasukan kecil, yang sebagian besar di antaranya adalah pasukan kecil dan terbatas pada apa yang disebut “benteng” di pinggiran pusat pemukiman atau di titik-titik strategis seperti persimpangan jalan," tulis laporan itu.
Artinya, Hamas bertempur tidak dengan kekuatan besar yang bergerombol, melainkan dengan formasi pasukan kecil namun rutin menyerang.
Di sisi lain, keputusan untuk mendemobilisasi pasukan IDF tidak teratur dikaitkan dengan alasan ekonomi dan politik.
Baca juga: Antrean Panjang, Tentara IDF Harus Tunggu Dua Bulan Baru Dapat Layanan Kesehatan Mental
Hamas Akan Terus Hidup dan Menghantui Israel
"Adapun hal ketiga terkait dengan perang, seperti alam, adalah tidak bisa ada kekosongan. Meskipun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menolak untuk secara serius membahas rencana realistis pemerintahan di Gaza setelah perang, ia tampaknya menginginkan kekacauan di sebagian besar wilayah Jalur Gaza setelah Israel menyelesaikan misi yang dinyatakannya, yaitu untuk “mengakhiri” Hamas," tulis ulasan tersebut.
Laporan itu menggambarkan situasi di Gaza sedang melewati kebuntuan antara kedua pihak, karena tentara Israel tidak mampu meraih kemenangan atas Hamas, juga tidak mampu menghentikan agresi dalam waktu dekat.
Meskipun konfrontasi dengan Hamas mungkin menyebabkan kerugian kecil bagi tentara IDF, gerakan perlawanan ini dapat menggambarkan konfrontasi yang berkelanjutan sebagai sebuah kemenangan.
Netanyahu pernah menolak untuk membicarakan perihal pengelolaan Gaza Utara pasca-perang.
Alih-alih, dia mencari alternatif dengan menggaungkan agar keluarga (klan) dan pengusaha (Palestina) mengelola Jalur Gaza di bawah kedaulatan Israel.
"Masalahnya adalah, keluarga-keluarga tersebut memiliki kelompok semi-bersenjata dan komite lingkungan yang dibentuk oleh penduduk dan tentu saja Hamas, yang telah menguasai Gaza," kata laporan itu.
Jalur Gaza sejak tahun 2007 dan strukturnya baik yang terlihat maupun tersembunyi, merupakan bagian integral dari struktur masyarakat di Gaza.
Situasi ini bahkan tidak luput dari perhatian sekutu Israel.
Dalam penilaian ancaman tahunan yang disajikan oleh badan intelijen Amerika, diperkirakan bahwa Israel akan menghadapi pengawasan “mengintai” dari Hamas selama beberapa tahun, dan tentara Israel akan menghadapi kesulitan dalam menetralisirnya.
Struktur bawah tanah Hamas, dengan cara yang memungkinkan kelompok tersebut menghilang di terowongan, mengumpulkan barisan, dan kemudian mengejutkan pasukan Israel.
(oln/khbrn/*)