Kebakaran Jenggot Soal Rafah, Mesir Diyakini Jaga Hubungan dengan Israel Karena Insentif Ekonomi
TRIBUNNEWS.COM - Ketika agresi darat militer Israel di Rafah berlanjut selama minggu ketiga, ketegangan antara Israel dan Mesir, yang berbatasan dengan Gaza, terus meningkat.
Perang yang sedang berlangsung ini menguji kekuatan perjanjian perdamaian terpanjang Israel dengan negara Arab tersebut.
Setelah beberapa dekade hubungan bermusuhan dan beberapa perang, Israel dan Mesir menandatangani perjanjian damai pada tahun 1979.
Baca juga: Mesir Bantah Koordinasi dengan Israel Soal Operasi Militer di Rafah: Berita Palsu Sengaja Disebar
Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Israel setuju untuk mengembalikan Semenanjung Sinai ke Mesir, yang diduduki Israel selama Perang Enam Hari tahun 1967.
Sebagai imbalannya, Israel memperoleh sekutu Arab yang berpengaruh dan perbatasan selatan yang lebih aman.
Perjanjian damai tersebut juga meningkatkan hubungan Mesir dengan Amerika Serikat, dimana bantuan Amerika kepada Israel meningkat secara signifikan setelah perjanjian tersebut ditandatangani.
Mesir adalah negara Arab pertama yang mengakui Israel pada tahun 1979. Yordania mengikuti jejak Mesir pada tahun 1994, dan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan menormalisasi hubungan dengan Israel pada tahun 2020.
Dalam 45 tahun sejak Israel dan Mesir menjalin hubungan diplomatik, kedua negara telah bekerja sama secara ekonomi, militer, dan politik.
Ratusan ribu warga Israel mengunjungi Mesir setiap tahun, dan kedua negara berbagi informasi intelijen untuk memerangi terorisme di Sinai. Mesir juga menandatangani perjanjian impor gas senilai $15 miliar dengan perusahaan Israel pada tahun 2018.
Meskipun perjanjian damai ini memberikan manfaat bagi kedua negara, hubungan antara Israel dan Mesir menjadi tegang akibat perang yang sedang berlangsung di Gaza.
Ulasan Media Line yang mengutip diskusi dengan para pakar regional, mengulas tentang prospek hubungan Mesir-Israel.
Baca juga: Seruan Serangan Besar ke Mesir Menggema di Israel: Tolak Hamastan dan Fathistan di Gaza Pasca-Perang
Tegang Secara Politik, Adem Ayem Secara Ekonomi
Mira Tzoreff, peneliti senior di Universitas Tel Aviv dan Pusat Studi Timur Tengah dan Afrika Moshe Dayan, mengatakan kepada The Media Line bahwa hubungan antara Israel dan Mesir semakin dingin seiring berlanjutnya perang di Gaza.
“Seperti yang disebutkan oleh mendiang Presiden Mesir [Anwar] Sadat, tujuan negaranya adalah mencapai solusi bagi Palestina,” kata Tzoreff.
Meskipun hubungan politik kedua negara tegang, hubungan perdagangan tetap stabil, kata Haisam Hassanein, pakar hubungan Israel-Arab di Foundation for Defense of Democracies yang berbasis di Washington.
“Bahan bakar Israel masuk ke Mesir. Baik Yordania dan Mesir juga memperbarui perjanjian pembagian air mereka, meskipun ada ketegangan dalam hubungan politik bilateral,” katanya.
Pada bulan Desember, dua bulan setelah pecahnya perang Israel-Hamas, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina menuduh Israel berusaha memindahkan warga Gaza ke Mesir.
Beberapa politisi Israel secara terbuka mendukung gagasan tersebut.
Mesir secara konsisten menolak kemungkinan relokasi warga Gaza ke wilayahnya, baik sementara maupun permanen.
“Desakan Israel untuk merelokasi pengungsi ke Mesir memicu keamanan nasional negara tersebut,” kata Nourhan N. Moussa, seorang pengacara internasional dan profesor hukum yang berbasis di Kairo, kepada The Media Line.
Kekhawatiran keamanan nasional Mesir berkaitan dengan ancaman infiltrasi Hamas ke perbatasannya.
"Kelompok ini sangat punya ikatan tersendiri dengan Mesir karena hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin, yang dilarang di Mesir dan dipandang sebagai ancaman terhadap partai yang berkuasa," tulis ulasan tersebut.
Para pemimpin Mesir juga khawatir mengenai potensi tekanan masuknya pengungsi yang dapat berdampak pada perekonomian negara yang sudah tidak stabil.
“Mesir mempunyai hak untuk melindungi diri dengan membangun penghalang fisik di perbatasan Gaza, menghancurkan terowongan bawah tanah yang terhubung ke wilayahnya dan menghalangi jalan masuk,” kata Moussa.
Awal bulan ini, pasukan Israel menguasai sisi Gaza di perbatasan Rafah dengan Mesir, tempat sebagian besar bantuan kemanusiaan memasuki Gaza.
Sejak itu, penyeberangan perbatasan ditutup, dan Israel dan Mesir saling tuding mencegah pembukaan kembali penyeberangan tersebut.
Mesir Makin Kesal dan Frustasi
Situasi ini sangat membuat frustasi Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi sehingga dapat membahayakan perjanjian perdamaian, kata Tzoreff, peneliti Universitas Tel Aviv.
Lima hari setelah Israel mengambil alih perbatasan Rafah, Mesir bergabung dengan kasus genosida Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ).
Joe Truzman, peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies, mengatakan kepada The Media Line bahwa keputusan Mesir untuk bergabung dalam kasus genosida adalah bagian dari upaya untuk menjaga hubungan dengan Israel sekaligus menenangkan masyarakat Mesir, yang frustrasi dengan tindakan el-Sisi atas kelambanan tindakan yang dirasakan.
“Masyarakat Mesir, sebagian besarnya, pro-Palestina,” kata Truzman.
Sebagai bagian pembelaannya di ICJ, Israel menunjuk adanya 50 terowongan antara Mesir dan Rafah.
“Terowongan ini digunakan oleh Hamas untuk memasok senjata dan amunisi dan berpotensi digunakan untuk menyelundupkan sandera atau agen senior Hamas keluar dari Gaza,” kata Wakil Jaksa Agung Israel Gilad Noam kepada ICJ.
Truzman mengatakan bahwa Mesir mungkin mengetahui aktivitas Hamas di terowongan tersebut, namun “melihat ke arah lain” alias pura-pura tidak tahu.
Dia mengatakan bahwa perjanjian damai antara Israel dan Mesir kemungkinan besar akan tetap berlaku, terutama karena Mesir akan mengalami kerugian lebih besar jika memutuskan hubungan dengan Israel.
Hassan Ka’bia, mantan konsul jenderal Israel untuk Alexandria dan wakil juru bicara militer Israel untuk media Arab, sepakat bahwa baik Israel maupun Mesir kemungkinan tidak akan menarik diri dari perjanjian damai tersebut.
CNN melaporkan kemarin kalau seorang pejabat senior intelijen Mesir diam-diam telah mengedit proposal gencatan senjata yang diterima Hamas awal bulan ini untuk menciptakan ketentuan yang lebih menguntungkan Hamas, berita yang mungkin akan semakin menguji hubungan kedua negara.
*Tulisan Giorgia Valente, lulusan baru dari Ca’ Foscari University of Venice dan magang di Program Mahasiswa Pers dan Kebijakan The Media Line. Debbie Mohnblatt dan Nathan Klabin berkontribusi pada artikel ini.
(oln/tml/*)