Selain itu, Ita juga melihat tidak ada satu orang ibu pun di Palestina yang ingin menggugurkan anaknya atau memberi hak asuh kepada orang lain.
"Sejauh saya di sana nggak dapetin itu (pemikiran itu), sejauh saya di sana ya. Di luar itu saya nggak tau. Karena saya di persalinan sejauh itu nggak ada. Ternyata mereka berjuang untuk kehamilannya," katanya.
Pernah suatu saat, Ita menawarkan kepada seorang ibu yang akan melahirkan agar anaknya diadopsi kepada temannya yang sudah sangat mapan.
Namun, tawaran Ita ditolak oleh ibu yang tengah hamil tua tersebut.
"Jadi di sana sulit di sana gitu misalnya model human trafficking itu susah. Walaupun sesusah-susahnya hidup anak itu tetap direngkuh," tutur Ita.
Dia tidak menampik adanya pemikiran agar anak-anak Palestina lebih baik diungsikan atau diadopsi di negara lain.
Sebab akan sangat sulit membesarkan anak di tenda dan zona pertempuran yang penuh risiko.
Mereka bilang tidak mengenal istilah adopsi.
"Orang tua di sana menyambut anaknya sebagai anugerah. Mereka merasa hari-harinya itu bersama anaknya. Artinya untuk apa juga di buang, lebih baik mati syahid di tangan," papar Ita.
Dari situ, Ita merasa dirinya belum sampai pada level tersebut dan itulah arti sesungguhnya makna kasih sayang saling mengasihi.
Karena hari ini manusia hidup belum tentu besok masih hidup.