TRIBUNNEWS.com - Hasil survei yang dilakukan Channel 12 Israel menunjukkan dua pertiga warga Israel menuntut Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mundur dari jabatannya.
Mereka juga meminta Netanyahu supaya menahan diri untuk tidak terlibat lagi dalam dunia politik, termasuk mencalonkan diri untuk masa jabatan ketujuh.
Mayoritas dari mereka yang juga merupakan keluarga para sandera Israel di Gaza, takut Netanyahu menyabotase perjanjian pertukaran sandera dengan faksi-faksi Palestina.
Terpisah, hal serupa juga disampaikan keluarga sandera Israel saat menggelar konferensi pers di dekat Kementerian Pertahanan di Tel Aviv.
"Jangan biarkan Netanyahu menyabotase perjanjian itu lagi," kata mereka, Sabtu (29/6/2024), dikutip dari Anadolu Ajansi.
Selain Netanyahu, pejabat Israel lainnya juga didesak untuk segera menyetujui gencatan senjata di Gaza dengan imbalan pembebasan seluruh sandera Israel.
"Desakan Netanyahu untuk memperpanjang perang, menghalangi kita bertemu orang-orang yang kita cintai," tegas mereka.
"Melanjutkan perang berarti membunuh para sandera di tangan pemerintah Israel!" lanjutnya.
Mereka memohon kepada Menteri Pertahanan, Yoav Galant; Kepala Staf, Herzi Halevi; serta pimpinan SHin Bet dan Mossad agar tidak membiarkan Netanyahu menyabotase perjanjian itu lagi.
Keluarga para sandera menyoroti, "rakyat memahami Netanyahu memperpanjang perang karena alasan pribadi; mencapai kesepakatan (untuk menghentikan perang dan menukar sandera) akan mengarah pada pemilihan umum dini dan berakhirnya pemerintahannya."
Sebelumnya, Netanyahu mengatakan ia hanya siap untuk "sebagian kesepakatan", di antaranya mengambil kembali beberapa tawanan Israel yang ditahan di Jalur Gaza.
Baca juga: 5 Negara Desak Warganya Tinggalkan Lebanon, Khawatir Perang Hizbullah dan Israel
Tetapi, Netanyahu menarik kembali pernyataannya, mengklaim ia berkomitmen terhadap proposal gencatan senjata di Gaza yang didukung oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Israel "tidak akan mengakhiri perang sampai kami mengembalikan semua sandera."
"Kami tidak akan mengakhiri perang sampai kami melenyapkan Hamas dan memulangkan penduduk selatan dengan selamat ke rumah mereka,” kata Netanyahu di Knesset (parlemen Israel).
Israel memperkirakan sekitar 120 warga Israel ditahan oleh Hamas di Gaza.
Hamas: Tidak Ada Kemajuan soal Gencatan Senjata
Sementara itu, pejabat senior Hamas, Osama Hamdan, tidak ada kemajuan dalam pembicaraan gencatan senjata dengan Israel.
Hamas masih siap untuk "menanggapi secara positif" setiap proposal gencatan senjata, kata Hamdan, pada konferensi pers di Beirut, Lebanon, Sabtu, dikutip dari Al Arabiya.
Upaya mediator Arab, yang didukung oleh AS, sejauh ini gagal mencapai gencatan senjata.
Hamas mengatakan kesepakatan apapun harus mengakhiri perang dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.
Sementara, Israel mengatakan pihaknya hanya akan menerima jeda sementara dalam pertempuran sampai Hamas dilenyapkan.
Baca juga: Perintah Mencurigakan Israel pada Warga Palestina, GMO: Hati-hati karena Tak Bisa Dipercaya
Hamdan juga menyalahkan AS yang memberikan tekanan pada Hamas agar menerima persyaratan Israel.
"Sekali lagi, Hamas siap untuk menanggapi secara positif setiap proposal yang menjamin gencatan senjata permanen, penarikan komprehensif dari Jalur Gaza dan kesepakatan pertukaran yang serius,” tegas Hamdan.
Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober.
Lebih dari 37.834 warga Palestina telah terbunuh di Gaza, sebagian besar dari mereka adalah wanita dan anak-anak, dan hampir 86.858 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari delapan bulan setelah serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza hancur akibat blokade makanan, air bersih, dan obat-obatan yang melumpuhkan.
Saat ini, Israel menghadapi dakwaan genosida di Mahkamah Internasional, yang keputusan terbarunya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasinya di kota selatan Rafah, tempat lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelumnya. diserang pada 6 Mei 2024.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)