TRIBUNNEWS.COM - Ribuan pria Yahudi ultra-Ortodoks bentrok dengan polisi Israel pada Minggu (30/6/2024).
Insiden tersebut terjadi saat para pria Yahudi ultra-Ortodoks menggelar aksi demo menolak putusan Mahkamah Agung Israel yang mengharuskan mereka ikut wajib militer.
Seorang pendemo memegang papan bertuliskan, “Kami menolak menjadi tentara demi agama Zionis”.
Pendemo lainnya menuliskan, "Israel bukanlah Negara Yahudi, melainkan Negara Zionis, orang Yahudi bukanlah Zionis, dan kami tidak akan mengorbankan anak-anak kami”.
Pekan lalu, Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa negaranya harus mulai merekrut siswa seminari Yahudi ultra-Ortodoks untuk mengikuti wajib militer.
Keputusan tersebut diumumkan pada hari Selasa (25/6/2024)
Selama beberapa dekade, pria Yahudi ultra-Ortodoks dikecualikan dari wamil dengan alasan keagamaan.
Ap news melaporkan, putusan itu dapat menyebabkan kemungkinan runtuhnya koalisi pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Sejauh ini, pemerintahan Netanyahu belum menanggapi aksi demo yang dilakukan oleh ribuan pria Yahudi ultra-Ortodoks.
Netanyahu menegaskan tetap berkomitmen berjuang untuk ’mencapai tujuan’ Israel.
“Kami berkomitmen terhadap keinginan mereka (tentara Israel) yang gugur – untuk terus melanjutkannya sampai Hamas benar-benar dikalahkan,” kata Netanyahu dalam rapat kabinet pada Minggu (30/6/2024).
Baca juga: Demo Yahudi Ultra-Ortodoks Ogah Ikut Wajib Militer, Menteri Israel Jadi Sasaran
Laki-laki ultra-Ortodoks menghadiri seminari khusus yang berfokus pada studi agama, dengan sedikit perhatian pada topik sekuler, termasuk matematika, sains, dan bahasa Inggris.
Kritikus menyatakan bahwa mereka tidak siap untuk bertugas di militer atau memasuki dunia kerja sekuler.
Dengan angka kelahiran yang tinggi, komunitas ultra-Ortodoks merupakan segmen populasi yang tumbuh paling cepat, yaitu sekitar 4 persen setiap tahunnya.
Setiap tahun, sekitar 13.000 pria ultra-Ortodoks mencapai usia wajib militer 18 tahun, tetapi kurang dari 10 persen yang mendaftar, menurut Komite Kontrol Negara parlemen Israel.
Israel mengklaim lebih dari 600 tentaranya tewas sejak 7 Oktober, dan puluhan ribu tentara cadangan telah diaktifkan — sehingga harus mengorbankan karier, bisnis, dan kehidupan mereka.
Konflik Hamas-Israel di Gaza kembali memanas setelah Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan 1.200 orang dan menyandera 252 orang, menurut penghitungan Israel.
Setidaknya hampir 38 ribu warga Palestina tewas dan lebih dari 85.523 terluka dalam serangan Israel, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Sebelum 7 Oktober 2023, sebanyak 6.180 warga Palestina tewas akibat pendudukan dan konflik berdasarkan catatan tahun 2008-2022 dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
Korban tewas Israel mencapai 279 jiwa selama periode yang sama.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)