TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menggambarkan pembebasan Direktur Kompleks Medis Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, Mohammed Abu Salmiya, sebagai kesalahan besar.
Ia memerintahkan pemeriksaan komprehensif terhadap pembebasan dokter Palestina yang telah ditahan selama lebih dari tujuh bulan itu.
Netanyahu juga mengeluarkan instruksi untuk membentuk tim untuk memverifikasi identitas para tahanan Gaza sebelum membebaskan mereka setelah penyelidikan berakhir.
Sebelumnya, terjadi saling tuduh antara pejabat di tentara Israel, Shin Bet, Otoritas Penjara Israel, dan Kementerian Keamanan Nasional mengenai tanggung jawab dalam mengambil keputusan untuk membebaskan Mohammed Abu Salmiya, yang ditolak oleh Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant.
"Tim yang akan dipercaya untuk memverifikasi identitas para tahanan sebelum pembebasan mereka akan mencakup perwakilan dari Kementerian Keamanan, Tentara Israel, Shin Bet, dan Dewan Keamanan Nasional," kata kantor Netanyahu dalam pernyataannya pada Senin (1/7/2024) kemarin.
Sebelumnya, Shin Bet mengatakan kemarin, pembebasan Mohammed Abu Salmiya dilakukan untuk mengosongkan ruang di pusat penahanan.
“Mengingat kebutuhan nasional yang diidentifikasi oleh Dewan Keamanan Nasional, diputuskan untuk membebaskan sejumlah tahanan dari Gaza yang tidak menimbulkan ancaman serius, setelah dilakukan penilaian luas terhadap risiko di antara semua tahanan," kata Shin Bet kemarin, dikutip dari Al Jazeera.
Kesaksian Direktur RS Al-Shifa soal Kekejaman Israel
Dr. Mohammed Abu Salmiya termasuk di antara 50 warga Palestina yang dibebaskan melalui perbatasan timur Gaza tengah dan selatan, setelah ditahan sejak November 2023 lalu.
Mereka yang dibebaskan diangkut ke Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir Al-Balah dan Rumah Sakit Nasser di Khan Younis.
Abu Salmiya ditangkap pada 23 November 2023 bersama beberapa staf medis saat bepergian melalui Jalan Salah al-Din dari Kota Gaza ke wilayah selatan Jalur Gaza setelah militer Israel menyerang Rumah Sakit Al-Shifa.
Baca juga: Curhatan Direktur RS Al-Shifa Selama Ditahan IDF: Hanya Makan Sepotong Roti, Disiksa Setiap Hari
"Kondisi para tahanan sangat tragis, kondisi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Palestina, dengan kekurangan makanan yang parah dan penghinaan fisik," katanya kepada Anadolu Agency, Senin (1/7/2024) kemarin.
Ia menekankan perlunya tindakan tegas yang mendesak untuk membebaskan semua tahanan dari penjara Israel, dan mencatat kesulitan yang dihadapi para tahanan tidak ada bandingannya sejak Nakba.
"Pendudukan Israel menangkap semua orang dan staf medis Gaza yang ditangkap telah meninggal di penjara-penjara Israel karena penyiksaan dan kurangnya perawatan medis," tegasnya.
"Musuh telah menunjukkan kekejamannya dalam menangani tahanan dan tenaga medis. Ratusan staf medis telah menjadi sasaran dan disiksa di penjara pendudukan," tambahnya.
Jumlah Korban
Saat Israel masih melancarkan agresinya di Jalur Gaza, jumlah kematian warga Palestina meningkat menjadi lebih dari 37.900 jiwa dan 87.060 lainnya terluka sejak Sabtu (7/10/2023) hingga Senin (1/7/2024), dan 1.147 kematian di wilayah Israel, seperti dilaporkan Anadolu Agency.
Sebelumnya, Israel mulai membombardir Jalur Gaza setelah gerakan perlawanan Palestina, Hamas, meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada Sabtu (7/10/2023) untuk melawan pendudukan Israel dan kekerasan di Al-Aqsa sejak tahun 1948.
Israel memperkirakan kurang lebih ada 120 sandera yang hidup atau tewas dan masih ditahan Hamas di Jalur Gaza, setelah pertukaran 105 sandera dengan 240 tahanan Palestina pada akhir November 2023.
Sementara itu, lebih dari 8.000 warga Palestina yang masih berada di penjara-penjara Israel, menurut laporan pada Desember 2023 lalu.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Konflik Palestina vs Israel