TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah Kota Hiroshima Jepang mengumumkan bahwa Israel menerima undangan untuk menghadiri upacara perdamaian tahunan pada 6 Agustus mendatang.
Acara tersebut adalah untuk memperingati serangan bom atom di kota tersebut pada Perang Dunia II.
Dengan niat Israel untuk ikut serta, jumlah negara yang dijadwalkan untuk ambil bagian mencapai rekor tertinggi yaitu 115 negara, Kyodo News melaporkan.
Undangan kepada Israel, yang secara luas dianggap sebagai negara bersenjata nuklir, termasuk seruan untuk segera melakukan gencatan senjata terhadap konflik di wilayah Palestina.
Sebanyak 115 negara dan Uni Eropa dijadwalkan untuk berpartisipasi dalam upacara tersebut.
Jumlah itu naik dari rekor sebelumnya 111 negara dan UE pada tahun 2023, menurut kota tersebut.
Di antara negara-negara berkekuatan nuklir, Inggris dan Perancis berencana untuk hadir.
Pengaturan sedang dibuat untuk Amerika Serikat, sementara China belum memberikan tanggapan.
Dari negara-negara yang belum menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir, India menyatakan akan berpartisipasi.
Sementara itu, Pakistan dan Korea Utara belum menanggapinya.
Pemerintah kota Hiroshima dituduh memiliki standar ganda oleh beberapa warga dan aktivis.
Baca juga: 3 Tahanan Palestina Ditemukan Tewas Tak Lama setelah Dibebaskan Israel, Tangan Masih Terikat
Sebab, mereka mengundang Israel tetapi melarang Rusia dan Belarus untuk menghadiri upacara tersebut selama tiga tahun berturut-turut karena invasi ke Ukraina.
Israel memulai operasi militer di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023.
Selain Hiroshima, Nagasaki juga akan menggelar acara serupa.
Namun pemerintah kota Nagasaki mengatakan mereka belum memutuskan apakah akan mengundang Israel.
Hiroshima dan Nagasaki menjadi kota pertama yang dijatuhkan bom atom pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945.
Setiap tahun, delegasi dari berbagai negara dan wilayah di seluruh dunia diundang untuk menghadiri upacara perdamaian untuk mendoakan para korban.
Upacara itu sekaligus menegaskan bahwa umat manusia tidak dapat hidup berdampingan dengan senjata nuklir.
Diskusi Gencatan Senjata Israel-Hamas Masih Berlangsung
Sementara itu, perundingan gencatan senjata masih berlangsung antara Israel dan Hamas, dengan dimediasi oleh sejumlah pihak.
Namun, belum ada kemajuan yang berarti.
Pada hari Senin (8/7/2024), Hamas menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menghalangi perundingan gencatan senjata.
Dalam sebuah pernyataan, Hamas mengklaim bahwa mereka menawarkan fleksibilitas dan sikap positif dalam perundingan, sementara Netanyahu menaruh hambatan tambahan dalam proses perundingan.
Mengutip The Times of Israel, Hamas meminta para mediator untuk melakukan intervensi terhadap manuver dan kejahatan yang dilakukan Netanyahu.
Hamas menyebut Netanyahu melakukan “perang psikologis" dengan menunda-nunda kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Pada hari Minggu (7/7/2024), kantor Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang memaparkan empat tuntutannya yang tidak dapat dinegosiasikan, termasuk janji untuk tidak menerima perjanjian gencatan senjata yang tidak memungkinkan Israel untuk melanjutkan pertempuran setelah perjanjian tersebut mulai dilaksanakan.
Baca juga: Mesir Kutuk Israel, Hamas Setuju Memulai Negosiasi Tanpa Klausul Gencatan Senjata Permanen
Pernyataan tersebut memicu banyak kritik dari pihak-pihak yang terlibat dalam perundingan, termasuk pejabat keamanan Israel.
Menindaklanjuti pernyataan Hamas, Ismail Haniyeh, ketua kelompok tersebut yang berbasis di Qatar, menyinggung laporan peningkatan operasi IDF di Kota Gaza yang berpotensi menyabotase perundingan yang baru saja dimulai kembali.
Sebuah pernyataan di saluran Telegram Hamas pada Senin malam mengatakan bahwa Haniyeh telah mengatakan kepada mediator selama panggilan telepon bahwa dia menganggap Netanyahu dan tentara Israel bertanggung jawab penuh atas potensi gagalnya perundingan.
Peningkatan pertempuran dapat mendorong segalanya kembali ke titik nol, ujar Haniyeh.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)