TRIBUNNEWS.COM – Iran mengeluarkan pernyataan bersama yang isinya meminta Zionisme diakui sebagai bentuk rasisme.
Pernyataan itu dikeluarkan dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, pada Selasa (10/7/2024).
Dikutip dari Press TV, Duta Besar Iran untuk PBB, Ali Bahraini, membacakan pernyataan itu. Dia mewakili beberapa negara Islam dan negara independen.
Bahraini menginginkan pengembalian Resolusi PBB 3379 yang secara historis menganggap Zionisme sebagai salah satu perwujudan rasisme.
Dalam pernyataan bersama itu, disinggung pula laporan dari Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) tahun 2017 yang menganggap Israel sebagai "rezim apartheid".
Kemudian, ditegaskan, pelarangan diskriminasi rasial dan apartheid adalah prinsip penting dalam hukum internasional.
Dalam pernyataan bersama itu, masyarakat dunia diminta mengambil langkah tegas untuk melawan kelompok-kelompok Israel yang melakukan kejahatan kemanusiaan.
Sejarah Zionisme
Menurut Encyclopedia Britannica, Zionisme adalah gerakan nasionalis Yahudi yang bertujuan mendirikan dan mendukung negara bangsa Yahudi di Palestina.
Zionisme berasal dari kata Zion, yaitu nama salah satu bukit di Yerusalem kuno.
Awalnya, pada abad ke-16 dan ke-17 ada sejumlah "mesiah" yang mengimbau orang Yahudi untuk "kembali" ke Palestina.
Meski demikian, ada pula gerakan Yahudi yang mendukung orang Yahudi untuk berasimilasi saja dengan kebudayaan sekuler Barat. Gerakan itu dikenal dengan nama Haskala.
Baca juga: Rakyat Venezuela Mendukung Perlawanan Palestina, Sebut Zionisme Musuh Bersama
Yahudi di Eropa Timur memilih untuk tidak mengasimilasi diri. Mereka kemudian membentuk Hovevei Ziyyon atau "Kekasih Zion" untuk menorong adanya pemukiman petani dan perajin Yahudi di Palestina.
Seorang jurnalis Austria bernama Theodor Herzl pada akhir abad ke-19 menggagas politik Zionisme.
Pada 1897, dia menggelar Kongres Zionis pertama di Swiss yang menghasilkan pernyataan, "Zionisme bertujuan mendirikan rumah bagi orang Yahudi di Palestina, diamankan dengan hukum publik".
Sebelum Perang Dunia I, Zionisme hanya mewakili sejumlah minoritas Yahudi, terutama dari Rusia.
Gerakan itu membuat propaganda melalui para orator dan pamflet serta membuat surat kabarnya sendiri.
Kegagalan Revolusi Rusia 1905 dan gelombang pogrom (pembunuhan terorganisir) serta penindasan membuat banyak pemuda Yahudi Rusia pindah ke Palestina.
Setelah Perang Dunia I, dua tokoh Zionis bernama Chaim Weizmann dan Nahum Sokolow berperang penting dalam mendapatkan Deklarasi Balfour dari Inggris (1917). Inggris berjanji mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina.
Orang-orang Yahudi mulai mendirikan pemukiman di desa dan kota di Palestina. Pada 1933, jumlah penduduk Yahudi di Palestina mencapai 238.000 jiwa.
Aliran imigrasi orang Yahudi ke Palestina makin deras setelah kemunculan Adolf Hitler di Eropa.
Sementara itu, orang-orang Arab mulai khawatir Palestina kelak bisa menjadi negara Yahudi. Mereka menolak Zionisme.
Baca juga: Video Militer Zionis dan Warga Israel Saling Serang, Tel Aviv di Ambang Kehancuran
Agar tetap mendapat dukungan dari orang Arab dalam Perang Dunia II, Inggris kemudian membatasi imigrasi orang Yahudi ke Palestina tahun 1939.
Pembatasan itu ditolak oleh kelompok bawah tanah Yahudi. Mereka melakukan tindakan terorisme dan pembunuhan terhadap orang Inggris serta mengorganisir imigrasi ilegal Yahudi ke Palestina.
Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian Palestina menjadi dua, yakni negara orang Arab dan negara orang Yahudi.
Negara Israel kemudian didirikan pada14 Mei 1948. Namun, negara-negara Arab tidak menerimanya sehingga melakukan invasi, tetapi dikalahkan Israel.
Ketika perjanjian gencatan senjata ditandatangani, Israel menguasai wilayah lebih besar daripada yang seharusnya menurut rencana PBB.
Sekitar 800.000 orang Arab melarikan diri atau terusir dari area yang kemudian menjadi Israel.
(Tribunnews/Febri)