News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Jepang Kembangkan Teknologi Co-Firing untuk Pembangkit Listrik Termal

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Data penggunaan karbon Indonesia (paling kiri atas) untuk pembangkit energi sebesar 61% (China 64%) dibandingkan sumber energi lainnya pada 9 negara ASEAN. Sumber IEA (data 2021, disiapkan oleh Badan Sumber Daya Alam dan Energi.

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Jepang sedang mengembangkan Teknologi Co-Firing untuk Pembangkit Listrik Termal agar bisa menangkap dan mengubur CO2.

"Jepang telah mengembangkan teknologi co-firing yang menggunakan hidrogen dan amonia sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik termal," ungkap sumber Tribunnews.com di Kementerian Ekonomi Industri dan Perdagangan (METI) beberapa waktu lalu.

Tujuannya untuk penggunaan amonia yang akrab tetapi sebenarnya tidak diketahui dan "CCS" akan menangkap dan mengubur CO2.

Hal ini akan segera direalisasikan setelah uji coba beberapa kali.

Baca juga: Mobil Ikonik Toyota AE86 Milik Drift King Asal Jepang Akan Datang ke Indonesia

"Hingga saat ini, kami telah memanfaatkan teknologi dan keuangan ini untuk mendukung dekarbonisasi Asia melalui lembaga pemerintah dan organisasi lain," ujarnya.

CCS atau Carbon dioxide Capture and Storage. CCUS adalah Carbon dioxide Capture Utilization and Storage.

Teknologi CCS dan CCUS adalah teknologi yang sangat diperlukan untuk mengurangi emisi CO2 dikembangkan Jepang saat ini untuk menangkap dan mengubur CO2 dan akan diperkenalkan kepada negara-negara di Asia.

Mengingat latar belakang ini, Jepang mengusulkan Asia Zero Emission Community (AZEC) Initiative pada Januari 2022 dengan tujuan "bekerja sama dengan negara-negara Asia untuk berbagi filosofi mempromosikan dekarbonisasi dan bekerja sama untuk memajukan transisi energi" agar dapat terus bekerja sama dengan Asia dan berkontribusi pada percepatan dekarbonisasi global.

Sampai dengan 31 Desember 2021 data IEA (Badan Sumber Daya Alam dan Energi) memperlihatkan Indonesia masih tergantung 61 persen dari tambang batu bara untuk pembangkit listriknya.

Sedangkan target netralitas karbon Indonesia baru terjadi tahun 2060 sesuai data NDA (Non-Disclosure Agreement).

Baca juga: Sukses di Jepang, Pameran Arsitektur More or Less Atelier Riri Juga Hadir di Jakarta

"Negara-negara Asia Tenggara perlu memenuhi permintaan listrik mereka yang terus meningkat sambil mencegah risiko pemadaman listrik yang dapat berdampak pada kegiatan ekonomi dan mata pencaharian agar tidak menghambat pertumbuhan mereka. Pada saat yang sama, kita dihadapkan pada tantangan untuk terus memajukan dekarbonisasi," jelasnya.

Potensi Energi Terbarukan di Asia Tenggara

Salah satu kunci untuk mempromosikan dekarbonisasi adalah pengenalan energi terbarukan.

Namun, di Asia Tenggara, potensi pembangkit listrik tenaga surya dan angin tidak begitu diberkati dibandingkan dengan kondisi alam.

Data penggunaan karbon Indonesia (paling kiri atas) untuk pembangkit energi sebesar 61% (China 64%) dibandingkan sumber energi lainnya pada 9 negara ASEAN. Sumber IEA (data 2021, disiapkan oleh Badan Sumber Daya Alam dan Energi.
Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini