TRIBUNNEWS.COM - Presiden Bangladesh, Mohammed Shahabuddin memerintahkan pembebasan pemimpin oposisi utama Khaleda Zia dari penjara, selang beberapa jam setelah Sheikh Hasina digulingkan dan kabur dari negara tersebut.
Sebuah pertemuan yang dipimpin Shahabuddin digelar pada hari Senin (5/8/2024).
Panglima Angkatan Darat Jenderal Waker-Uz-Zaman, bersama kepala angkatan laut dan udara, dan para pemimpin tinggi sejumlah partai oposisi, termasuk BNP dan partai Jamaat-e-Islami, menghadiri pertemuan tersebut.
Sekretaris pers Presiden Shahabuddin mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dari hasil pertemuan diputuskan "dengan suara bulat untuk segera membebaskan Ketua Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), Begum Khaleda Zia".
“Pertemuan itu juga memutuskan untuk membebaskan semua orang yang ditangkap selama demonstrasi mahasiswa,” tambah pernyataan presiden.
Lebih dari 2.000 orang telah ditangkap sejak bulan lalu selama protes jalanan yang mematikan atas kuota pekerjaan pemerintah yang segera berubah menjadi seruan nasional agar Hasina mengundurkan diri dari jabatannya.
Hampir 300 orang tewas dalam protes selama berminggu-minggu yang ingin ditumpas oleh pihak berwenang. Kekerasan mematikan pada Minggu malam menewaskan hampir 100 orang dan jam malam diberlakukan untuk meredam protes.
Zia yang saat ini berusia 78 tahun, pernah dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri Bangladesh.
Ia dijatuhi hukuman 17 tahun penjara karena korupsi tahun 2018 kemarin.
Kesehatannya makin menurun hingga akhirnya dirawat di rumah sakit.
Zia sudah lama berseteru dengan Hasina, dan dituduh menyalahgunakan kekuasaannya dengan menggelapkan sekitar $250.000 yang merupakan sumbangan untuk yayasan panti asuhan.
Baca juga: Pengunjuk Rasa Jarah Isi Rumah PM Bangladesh, Ranjangnya Ditiduri Para Lelaki
BNP mengatakan kasus-kasus itu direkayasa dan ditujukan untuk menjauhkan Zia dari politik, tuduhan yang dibantah oleh pemerintahan Hasina.
Protes di Bangladesh
Unjuk rasa mahasiswa meletus hampir dua bulan yang lalu di Bangladesh.
Mereka memprotes sistem kuota yang telah berlangsung lama untuk pekerjaan sektor publik, yang dianggap hanya menguntungkan keluarga dan keturunan mantan personil militer yang berjuang untuk kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada tahun 1971.
Pemerintah telah menangguhkan sistem kuota tersebut.
Tetapi sebuah gugatan di pengadilan membuka jalan bagi sistem ini untuk diberlakukan kembali hingga sebuah keputusan dari Mahkamah Agung memerintahkan agar kuota untuk mantan anggota militer dikurangi dari 30 persen menjadi 5 persen.
Mahkamah memutuskan bahwa 93 persen pekerjaan harus dialokasikan berdasarkan prestasi, dengan 2 persen sisanya disisihkan untuk kelompok minoritas.
Protes sempat mereda selama beberapa hari, Reuters melaporkan.
Sayangnya, tak lama kemudian berubah menjadi gerakan anti-pemerintah.
Para mahasiswa kini menuntut keadilan bagi para korban kebrutalan polisi selama aksi unjuk rasa tersebut.
Selama sebulan terakhir, lebih dari 200 orang telah tewas, ribuan orang terluka, dan sekitar 10.000 orang ditangkap sehubungan dengan aksi protes tersebut.
Kementerian Dalam Negeri Bangladesh mengumumkan pemberlakuan jam malam nasional tanpa batas waktu mulai pukul 18.00 waktu setempat, aturan ini menjadi langkah pertama yang diambil sejak serangkaian demonstrasi dimulai.
Bangladesh selidiki kematian selama protes
Pada Senin (5/8/2024) kemarin, Jenderal Waker-Uz-Zaman mengatakan pemerintahan sementara akan dibentuk dan kematian yang tercatat selama protes akan diselidiki.
"Saya berjanji kepada kalian semua bahwa kami akan menegakkan keadilan atas semua pembunuhan dan ketidakadilan,"
"Kami meminta kalian untuk percaya kepada tentara negara ini. Saya bertanggung jawab penuh, dan saya jamin kalian tidak akan patah semangat," kata sang jenderal.
Militer juga mengatakan akan mencabut jam malam pada Selasa (6/8/2024) dini hari dan membuka kantor, pabrik, sekolah, dan perguruan tinggi mulai pukul 06.00 waktu setempat pada hari yang sama.
Melaporkan dari Dhaka, Tanvir Chowdhury dari Al Jazeera mengatakan bahwa meskipun terjadi kekerasan, penangkapan dan jam malam, orang-orang di jalan bergembira atas kepergian Hasina dari Bangladesh.
“Baru beberapa menit yang lalu, patroli militer memberi tahu para pengunjuk rasa untuk pulang, bahwa militer bersama mereka dan bahwa mereka harus membiarkan jalan-jalan kosong. Mereka mengatakan bahwa para pengunjuk rasa semuanya terlindungi dan tidak perlu khawatir,"
"Namun, orang-orang masih berencana untuk tetap berada di jalan meskipun tidak terlalu ramai,” kata Chowdhury.
Chowdhury menambahkan bahwa apa yang akan terjadi selanjutnya di negara ini “bergantung pada bagaimana pemerintahan sementara dibentuk, siapa saja anggotanya, dan seberapa diterimanya mereka oleh masyarakat”.
Militer memiliki “pekerjaan yang sangat berat ke depannya,” kata Irene Khan, pelapor khusus PBB, kepada Al Jazeera.
“Kami semua berharap bahwa transisi ini akan berlangsung damai dan akan ada akuntabilitas atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi.”
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)