"Anda mengkhawatirkan hal terburuk bagi kota Anda. Ada semacam perasaan: Ke mana kita harus pergi sekarang? Kita sedang tersesat."
Kerusuhan paling parah di Inggris dalam satu dekade itu dimulai setelah penusukan massal yang mematikan di sebuah klub anak-anak di kota tepi laut Southport. Karena tersangka pembunuh berusia 17 tahun, detail tentang identitasnya dirahasiakan selama berhari-hari. Tak lama kemudian, klaim palsu bahwa penyerangnya adalah seorang pencari suaka Muslim membanjiri celah tersebut.
Bahkan ketika polisi akhirnya mengidentifikasi tersangka sebagai Axel Rudakubana, pria yang lahir di Cardiff, Wales, dari orang tua Rwanda yang tidak memiliki hubungan dengan Islam, amarah massa sudah kadung tersulut.
"Media sosial telah menjadi tempat berkembang biaknya disinformasi, di mana kelompok dan individu sayap kanan menyebarkan narasi palsu, teori konspirasi, dan konten yang menghasut untuk memicu ketakutan dan prasangka yang ada," kata Claudia Wallner, seorang peneliti di lembaga pemikir keamanan RUSI, kepada DW.
"Dalam kasus kerusuhan Southport, disinformasi tentang insiden tersebut disebarkan untuk memicu kemarahan, memanfaatkan ketakutan dan ketidakpastian yang ada, dan memobilisasi individu untuk mengambil tindakan." Wallner mengatakan peristiwa tersebut juga merupakan "puncak dari masalah yang sudah berlangsung lama" di Inggris.
"Ketidakpastian ekonomi, pergeseran budaya, dan retorika politik telah berkontribusi pada meningkatnya permusuhan terhadap kaum migran dan komunitas minoritas."
Trauma masa lalu
Banyak warga Muslim Inggris yang diwawancarai DW menyebutkan bahwa perasaan ketegangan yang sudah berlangsung lama telah mencapai titik didih. Sopir taksi berusia 60 tahun Zaf Iqbal, misalnya, menyebutkan Brexit dan retorika "mengambil kembali kendali" sebagai faktor penyebabnya. "Hal ini adalah ketidaktahuan dan frustrasi yang menyesatkan," katanya.
Lahir dan dibesarkan di Sunderland dari orangtua Pakistan, Iqbal merupakan bagian dari komunitas Asia di Inggris, yang menurut angka sensus, merupakan 9,3 persen dari populasi.
Dia berharap anak-anaknya tidak akan pernah menghadapi rasisme yang menghantui masa kecilnya sendiri. Namun, kenangan itu kini terasa sangat familiar. Iqbal bahkan mendapati dirinya terkunci di dalam masjid setempat selama akhir pekan saat polisi menahan massa di luar.
"Kejadiannya menakutkan," katanya kepada DW melalui telepon. Bahkan ketika kerusuhan mereda, dia menjadi sasaran cercaan rasis di jalan keesokan harinya.
Seperti yang lain, Iqbal kini bertekad untuk menyembuhkan perpecahan yang membesar. Prioritas utama adalah mencegah ketegangan bertambah parah, ketakutan yang sangat nyata.
Mata berbalas mata
Pada hari Senin (6/8), beberapa kelompok pria berdarah Asia dilaporkan turun ke jalan di kota Birmingham, sebagai respons atas serangan rasial oleh pria kulit putih.
"Saya tidak mendukung. Mereka seharusnya tidak melawan api dengan api," ujar Mohammed Khalil, seorang pria berusia 24 tahun kelahiran Yaman, kepada DW di Liverpool. "Mereka malah menambah amunisi kepada para penghasut. Hal ini bukan yang Anda inginkan. Tindakan mereka tidak diwakili oleh Islam."
Imam Adam Kelwick juga mencoba menyebarkan pesan tersebut, saat polisi bersiap menghadapi gelombang baru kerusuhan pada hari Rabu.