Situasi yang belum sepenuhnya kondusif membuat sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengeluarkan seruan bagi WNI di Inggris untuk waspada terutama ketika harus bepergian atau beraktivitas di luar rumah.
Oleh KBRI di London, para WNI diminta untuk menghindari kerumunan massa dan tempat-tempat yang berpotensi sebagai titik pengumpulan massa atau kelompok pengunjuk rasa.
Apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir memang membuat kelompok Muslim dan kelompok kulit berwarna menjadi khawatir.
Kolumnis Anila Baig, dalam tulisannya di koran The Mirror, mengatakan beberapa kawannya membatalkan liburan di Cornwall dan Lake District — dua resor wisata yang populer di Inggris — karena khawatir menjadi sasaran. Ia juga meminta anaknya untuk tidak sering-sering keluar rumah karena khawatir terjebak kerusuhan hanya karena warna kulitnya.
Baig khawatir Inggris yang sudah ia anggap seperti rumah sendiri —suaminya adalah pria Inggris berkulit putih — akan kembali masuk ke hari-hari kelam pada era 1970-an ketika rasisme pernah ditolerir.
“Orang-orang baik harus bersatu dan memadamkan api kebencian sebelum api ini membakar dan menghanguskan kita semua,” kata Baig.
Dalam pengamatan wartawan di Inggris, Mohamad Susilo, masyarakat dari berbagai elemen, bahu-membahu membersihkan lokasi-lokasi di sejumlah kota yang dilanda kerusuhan.
Komunitas warga keturunan Bangladesh, misalnya, menyumbang miliaran poundsterling bagi perekonomian Inggris.
Kemudian, ada banyak perawat dari Filipina dan sekitar 25% staf NHS, badan yang menjadi tulang punggung layanan kesehatan Inggris, adalah dari kelompok kulit hitam, Asia, dan kelompok minoritas.
Tetapi kerusuhan ini mengingatkan bahwa kelompok kanan jauh/ekstrem kanan, bagaimanapun, sudah merasa punya nyali di panggung politik Inggris.
Di sisi lain, platform media sosial punya tanggung jawab untuk menangani hoaks dan misinformasi
yang leluasa menyerang elemen masyarakat yang punya warna kulit dan keyakinan berbeda dari mayoritas.
!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0){var t=e.createElement(n);t.async=1,t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a.insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,"script","https://news.files.bbci.co.uk/ws/partner-analytics/js/fullTracker.min.js","s_bbcws");s_bbcws('syndSource','ISAPI');s_bbcws('orgUnit','ws');s_bbcws('platform','partner');s_bbcws('partner','tribunnews.com');s_bbcws('producer','indonesian');s_bbcws('language','id');s_bbcws('setStory', {'origin': 'optimo','guid': 'c9qgg2g5l0qo','assetType': 'article','pageCounter': 'indonesia.articles.c9qgg2g5l0qo.page','title': 'Kerusuhan pecah di sejumlah kota, komunitas minoritas dan Muslim menjadi sasaran, ada apa dengan Inggris?','published': '2024-08-07T04:16:51.964Z','updated': '2024-08-07T04:16:51.964Z'});s_bbcws('track','pageView');