Yair Lapid, Pemimpin oposisi Israel Serukan Kesepakatan Pertukaran Sandera, Tuntut Netanyahu Setop Sabotase
TRIBUNNEWS.COM- Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, pada hari Selasa menyerukan diakhirinya upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk "menyabotase" perundingan yang bertujuan mencapai gencatan senjata Gaza dan kesepakatan pertukaran sandera dengan Hamas, Anadolu Agency melaporkan.
"Semua upaya Netanyahu untuk menyabotase negosiasi harus dihentikan. Segera selesaikan masalah ini, sebelum mereka (tawanan) semuanya mati," kata Lapid di X.
Tentara Israel, pada hari Selasa, mengambil jasad enam sandera yang disandera Hamas di Gaza.
Israel memperkirakan sekitar 110 warga Israel ditahan di Gaza, sementara Hamas mengatakan bahwa banyak tawanan tewas dalam serangan Israel di daerah kantong itu.
Pada awal Juni, tentara Israel menyelamatkan empat tawanan hidup-hidup dari Kamp Pengungsi Nuseirat di Gaza tengah, dalam sebuah operasi yang mengakibatkan kematian lebih dari 210 warga sipil Palestina akibat artileri berat dan serangan udara.
Selama berbulan-bulan, AS, Qatar, dan Mesir telah berupaya mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata serta mengizinkan bantuan kemanusiaan memasuki Gaza. Namun, upaya mediasi terhenti karena penolakan Netanyahu untuk memenuhi tuntutan Hamas guna menghentikan perang.
Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang berkelanjutan di Gaza sejak serangan 7 Oktober 2023 oleh Hamas.
Serangan Israel telah mengakibatkan lebih dari 40.170 kematian warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 92.740 cedera, menurut otoritas kesehatan setempat.
Blokade Gaza yang terus berlanjut telah mengakibatkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah, sehingga sebagian besar wilayah hancur.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang putusan terakhirnya memerintahkan Israel untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, tempat lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diinvasi pada 6 Mei.
SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR